Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini Stepheni
Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa
manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan,
perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel
Twilight Bab 4 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi
hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Pandangan Pertama Bab 4
Ketika bel
berbunyi, suaranya berupa gumaman sengau Seorang cowok ceking dengan kulit
bermasalah dan rambut hitam licin bagai oli bersandar di lorong dan berbicara
padaku.
"Kau
Isabella Swan, kan?" Ia kelihatan seperti orang yang kelewat suka
menolong, tipe anggota klub catur. "Bella." aku meralatnya. Semua
orang dalam jarak tiga kursi berbalik menghadapku.
"Habis ini
kau masuk kelas apa?" tanyanya.
Aku harus
memeriksa dulu di dalam tasku. "Mmm,
Pemerintahan,
dengan Jefferson, di gedung enam." Aku tak bisa melihat ke mana pun tanpa
beradu pandang dengan mata-mata penasaran.
"Aku akan ke
gedung empat, aku bisa menunjukkannya padamu..." Jelas tipe kelewat suka
menolong. "Aku Eric," tambahnya.
Aku tersenyum
hati-hati. "Terima kasih." Kami mengambil jaket dan menerobos hujan,
yang sudah reda. Aku berani bersumpah beberapa orang di belakang kami berjalan
cukup dekat supaya bisa menguping. Kuharap aku tidak menjadi paranoid. “Jadi,
ini sangat berbeda dengan Phoenix heh?" tanyanya.
"Sangat".
"Di sana
tidak sering hujan, kan?"
"Tiga atau
empat kali setahun."
“Wow, seperti apa
rasanya?" Ia membayangkan.
"Cerah,"
ujarku.
"Kulitmu
tidak terlalu cokelat."
"Ibuku
setengah albino."
Ia mengamati
wajahku dengan waswas, dan aku mendesah. Kelihatannya awan dan selera humor
tidak pernah selaras. Beberapa bulan saja di tempat ini, aku pasti sudah lupa
bagaimana caranya bersikap sinis.
Kami berjalan
lagi mengitari kafetaria, ke gedung-gedung di sebelah selatan dekat gimnasium.
Eric mengantarku sampai ke pintu, meskipun papan tandanya jelas. "Semoga
berhasil," katanya ketika aku meraih gagang pintu. "Barangkali kita
akan bertemu di kelas lain." Ia terdengar berharap. Aku tersenyum samar
dan masuk.
Sisa pagi itu
berlalu kurang-lebih sama. Guru Trigonometriku, Mr. Varner, yang toh bakal
kubenci juga karena mata pelajaran yang diajarkannya, adalah satusatunya
yang menyuruhku
berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Aku tergagap, wajahku merah
padam, dan tersandung sepatu botku sendiri ketika menuju kursiku.
Setelah dua
pelajaran, aku mulai mengenali beberapa wajah di masing-masing kelas. Selalu
ada yang lebih berani dari yang lain, yang memperkenalkan diri dan bertanya
mengapa aku menyukai Forks. Aku mencoba berdiplomasi, tapi secara keseluruhan
aku hanya berbohong. Setidaknya aku tidak pernah membutuhkan peta.
Seorang gadis
duduk di sebelahku baik di kelas Trigono dan bahasa Spanyol, dan ia berjalan
menemaniku menuju kafetaria saat makan siang. Tubuhnya mungil, lebih pendek
daripada aku yang 160 senti, tapi rambut gelapnya yang sangat ikal berhasil
menyamarkan perbedaan tinggi kami. Aku tak ingat namanya, jadi aku tersenyum
dan mengangguk ketika ia mengoceh tentang guru-guru dan pelajarannya. Aku tak
berusaha memerhatikannya. Kami duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa
temannya. Ia memperkenalkanku pada mereka. Aku langsung lupa nama-nama mereka
begitu ia mulai mengobrol dengan mereka. Mereka tampak kagum dengan
keberaniannya berbicara denganku. Cowok dari kelas bahasa Inggris, Eric,
melambai padaku dari seberang ruangan.
Di sanalah, duduk
di ruang makan siang berusaha
memulai
pembicaraan dengan tujuh orang asing yang penasaran, ketika aku pertama kali
melihat mereka. Mereka duduk di sudut kafetaria, sejauh mungkin dari tempat
dudukku. Mereka berlima. Mereka tidak bicara, juga tidak makan, meskipun di
depan mereka masing-masing ada satu nampan makanan yang tak tersentuh. Mereka
tidak terpana menatapku, tidak seperti kebanyakan murid lainnya, jadi rasanya
aman memandangi mereka tanpa takut bakal beradu pandang dengan sepasang mata
yang kelewat penasaran. Tapi bukan ini yang menarik perhatianku.
Mereka tidak
terlihat seperti yang lain. Dari tiga cowok yang saru bertubuh besar—berotot
seperti atlet angkat besi profesional, rambutnya gelap ikal. Yang lain lebih
tinggi, lebih langsing tapi juga berotot dan rambutnya pirang keemasan. Yang
terakhir kurus dengan rambut berwarna perunggu yang berantakan. Ia lebih
kekanakan daripada yang dua lagi, yang kelihatannya sudah kuliah, atau bahkan
bisa jadi guru di sini dan bukannya murid. Yang cewek-cewek kebalikannya. Yang
jangkung tatapannya dingin. Tubuhnya indah, seperti yang kalian lihat di sampul
Sports Illustrated edisi pakaian renang, sosok yang membuat setiap cewek di
dekatnya tidak percaya diri hanya dengan berada di ruangan yang sama. Rambutnya
keemasan, tergerai lembut di punggung. Gadis yang bertubuh pendek seperti peri.
sangat kurus, perawakannya mungil. Rambutnya hitam kelam, dipotong pendek dan
lancip-lancip.
Namun toh mereka
sama persis. Mereka pucat pasi, paling pucat dari semua murid yang hidup di
kota tanpa matahari ini. Lebih pucat daripada aku, si albino. Mata mereka
sangat gelap, begitu kontras dengan warna rambut mereka. Mereka juga memiliki
kantong mata—keunguan, memar seperti bayangan. Seolah-olah mereka melewati
malam panjang tanpa bisa tidur, atau baru saja hampir sembuh dari patah hidung.
Terlepas dari hidung mereka, semua garis tubuh mereka lurus, sempurna, kaku.
Tapi bukan semua itu yang membuatku tak bisa berpaling.
Aku memandangi
mereka karena wajah mereka begitu berbeda, namun sangat mirip, semuanya luar
biasa, keindahan yang memancarkan kekejaman. Mereka wajahwajah
yang tak pernah
kauharapkan bakal kaulihat kecuali di halaman majalah fashion. Atau dilukis
seorang pelukis ahli sebagai wajah malaikat. Sulit memutuskan siapa yang paling
indah—mungkin cewek berambut pirang yang sempurna itu, atau si cowok berambut
perunggu. Mereka semua mengalihkan pandangan—dari satu sama lain, dari
murid-murid lain, dari segala sesuatu sejauh yang kulihat. Ketika aku
memerhatikan, si cewek mungil bangkit membawa nampan—kaleng sodanya belum
dibuka, apelnya masih utuh—dan berlalu sambil melompat cepat dan indah. Gerakan
yang bisa dilakukan di landas pacu. Aku terus mengawasinya, mengagumi langkah
luwesnya yang bagai penari, sampai ia menaruh nampannya di tempat nampan kotor
dan melayang lewat pintu belakang lebih cepat dari yang kupikir mungkin
dilakukannya. Mataku tertuju kembali ke yang lain, yang sama sekali tak
beranjak. “Siapa mereka?” aku bertanya pada cewek dari kelas bahasa Spanyol-ku,
yang aku lupa namanya. Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang
kumaksud—meskipun dari nada suaraku barangkali ia sudah tahu—tiba-tiba salah
satu cowok dari kelompok itu memandang ke arahnya, cowok yang bertubuh kurus
dan berwajah kekanakan, mungkin yang paling muda. Ia melihat ke cewek di
sebelahku hanya beberapa detik, lalu matanya yang gelap mengerjap ke arahku. Ia
berpaling dengan cepat, lebih cepat dari yang bisa kulakukan, meskipun karena
malu aku langsung menunduk saat itu juga. Sekilas tadi wajahnya sama sekali
tidak menunjukkan ketertarikan—seolah temanku telah menyebut namanya, dan ia
memandang sebagai reaksi spontan, telah memutuskan untuk tidak menjawab. Gadis
di sebelahku tertawa tersipu, menunduk memandangi meja seperti aku.
"Itu Edward
dan Emmett Cullen, serta Rosalie dan
Jasper Hale. Yang
baru saja pergi namanya Alice Cullen; mereka tinggal bersama dr. Cullen dan
istrinya." Ia mengatakannya dengan berbisik.
Aku melirik cowok tampan itu, yang sekarang sedang memandangi nampannya, mencubit-cubit bagelnya dengan jari-jari panjangnya yang pucat. Mulutnya bergerak sangat cepat, bibirnya yang sempurna nyaris tidak terbuka. Yang tiga lagi masih membuang muka, namun aku merasa ia berbicara diam-diam pada mereka.
Penutup Novel Twilight –
Pandangan Pertama Bab 4
Gimana Novel
twilight – Pandangan Pertama Bab 4 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: