Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 39 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Port Angeles Bab 39
Suara langkah kaki itu jelas sudah jauh di belakang. Aku
memberanikan diri menoleh sekilas, dan dengan lega melihat mereka kurang-lebih
dua belas meter di belakangku.
Tapi kedua cowok itu sedang memandangiku.
Rasanya lama sekali baru aku sampai di sudut.
Langkahku tetap stabil, dan kedua cowok di belakangku semakin jauh tertinggal.
Mungkin mereka sadar telah membuatku takut dan menyesalinya.
Aku melihat dua mobil yang menuju utara melewati
persimpangan yang akan kutuju, dan aku menghela napas lega. Akan ada lebih
banyak orang begitu aku keluar jari jalanan sepi ini. Aku membelok dengan
helaan napas lega.
Lalu menghentikan langkah.
Di kedua sisi jalan tampak dinding kosong tanpa pintu
dan jendela. Dari jauh aku bisa melihat dua persimpangan, lampu jalan,
mobil-mobil, dan lebih banyak pejalan kaki, tapi mereka terlalu jauh. Karena
terhalang bangunan di sebelah barat, di tengah jalan berdiri dua cowok lainnya.
Mereka menatapku sambil tersenyum puas, sementara aku
berdiri membeku di trotoar. Aku pun tersadar, aku tidak sedang diikuti.
Aku dijebak.
Aku berhenti sedetik yang rasanya lama sekali.
Kemudian aku berbalik dan berlari ke sisi lain jalan.
Dengan hari ciut aku menyadari usahaku sia-sia. Suara langkah di belakangku
semakin jelas sekarang.
"Di situ kau rupanya!" Suara gelegar cowok
berambut gelap dan bertubuh kekar itu memecah keheningan dan membuatku kaget.
Dalam kegelapan yang menyelimuti, ia seolah-olah
memandang ke belakangku.
"Yeah," suara keras menyahut dari
belakangku, membuatku terperanjat sekali lagi ketika mencoba lari.
"Kami hanya mengambil jalan pintas."
Langkahku sekarang pelan.
Jarak yang memisahkanku dengan dua pasang cowok itu
semakin dekat. Teriakanku cukup keras dan lantang, karenanya aku menghirup
napas dalam-dalam, bersiap-siap berteriak. Tapi tenggorokanku begitu kering
sehingga aku tak yakin seberapa keras aku bisa berteriak. Dengan cepat aku
meloloskan tali tasku dari kepala, menggenggamnya, siap menyerahkan atau
menggunakannya sebagai senjata bila perlu. Si cowok kekar meninggalkan tembok
ketika aku berhenti dengan hari-hari. dan berjalan pelan ke jalan.
"Jangan dekati aku." aku mengingatkan
dengan suara yang seharusnya lantang dan berani. Tapi aku benar tentang
tenggorokkan yang kering-tak ada suara yang keluar.
"Jangan begitu, Manis," seru cowok itu, dan
suara tawa liar itu terdengar lagi di belakangku.
Aku memasang kuda-kuda, kaki terbuka, dengan panik
berusaha mengingat-ingat jurus bela diri yang kutahu. Kepalan tangan siap
kulayangkan, mudah-mudahan bisa mematahkan hidungnya atau menghantam kepalanya.
Menusukkan jari ke matanya—mencoba menusuk dan mencongkel keluar matanya.
Dan tentu saja jurus standar, tendangan lutut ke
daerah vitalnya. Suara pesimis dalam benakku terdengar lagi, mengingatkanku
bahwa aku tak mungkin bisa mengalahkan salah satu dari mereka, apalagi mereka
berempat.
Diam! Kuperintah suara itu diam sebelum mulai
ketakutan. Aku takkan menyerah sebelum mengalahkan salah satu dari mereka.
Kutelan liurku supaya bisa berteriak lantang.
Sekonyong-konyong lampu sorot muncul dari sudut jalan
dan sebuah mobil nyaris menabrak si kekar, memaksanya melompat ke trotoar. Aku
berlari ke tengah jalan—mobil ini akan berhenti, atau menabrakku. Tapi mobil
silver itu tak disangka-sangka menukik, lalu berhenti dengan salah satu pintu
terbuka hanya beberapa jengkal dariku.
"Masuk," terdengar suara gusar
memerintahku. Sungguh mengagumkan betapa cepatnya cekaman rasa takut itu
lenyap, mengagumkan bagaimana perasaan aman tiba-tiba menyelimutiku – bahkan
sebelum aku meninggalkan jalanan – hanya sedetik setelah aku mendengar
suaranya.
Aku melompat masuk, membanting pintu hingga tertutup.
Suasana di dalam mobil gelap, tak ada cahaya seiring pintu yang tadi terbuka,
dan aku nyaris tak bisa melihat wajahnya dalam cahaya temaram yang terpancar
dari dasbor.
Ban mencicit ketika ia berputar menuju utara, melaju
terlalu cepat, berbelok menuju keempat cowok yang terperangah itu. Sekilas
kulihat mereka melompat ke trotoar saat kami melaju menuju pelabuhan.
"Pakai sabuk pengamanmu," perintahnya, dan aku tersadar kedua
tanganku meremas jok erat-erat.
Aku langsung mematuhinya; suara klik ketika sabuk
pengaman terpasang terdengar nyata dalam kegelapan. Ia membelok
tajam ke kiri, terus melesat cepat, melewati beberapa
rambu stop tanpa menghentikan laju mobil.
Tapi aku merasa sangat aman, dan sejenak aku sama sekali
tak peduli ke mana tujuan kami. Kutatap wajahnya dengan perasaan lega yang
dalam, kelegaan yang melebihi kebebasanku yang mendadak itu. Kuamati rupanya
yang tak bercela dalam cahaya yang terbatas, menunggu napasku kembali normal,
hingga tampak olehku ekspresinya yang amat sangat marah.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku, terkejut
mendengar betapa parau suaraku.
"Tidak," katanya kasar, nada suaranya
marah. Aku duduk diam, memerhatikan wajahnya sementara matanya yang
berkilat-kilat menatap lurus ke depan, sampai mobilnya tiba-tiba berhenti. Aku
memandang berkeliling, tapi terlalu gelap untuk melihat apa pun selain barisan
pepohonan di sisi jalan. Kami sudah meninggalkan kota.
"Bella?" ujarnya, suaranya tegang tapi
terkendali.
"Ya?" suaraku masih parau. Diam-diam aku
berusaha berdeham.
"Kau baik-baik saja?" Ia masih tidak
memandang ke arah ku tapi amarah tampak jelas di wajahnya.
"Ya," jawabku lembut.
"Tolong alihkan perhatianku," perintahnya.
"Maaf, apa katamu?"
Ia menghela napas keras-keras.
"Ceritakan apa saja yang remeh sampai aku
tenang," ia menjelaskan.
Dipejamkannya matanya dan dicubitnya cuping hidungnya
dengan ibu jari dan telunjuk.
"Mmm." Aku memutar otak untuk menemukan
sesuatu yang remeh.
"Aku akan menabrak Tyler Crowley besok sebelum
sekolah dimulai?"
Ia masih memejamkan mata dengan susah payah, tapi
sudut bibirnya menegang.
"Kenapa?"
Penutup Novel Twilight – Port
Angeles Bab 39
Gimana Novel twilight – Port Angeles Bab 39 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: