Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 38 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Port Angeles Bab 38
Mudah bagiku menemukannya, tapi
ternyata itu bukan toko buku yang kucari. Jendelanya penuh kristal, penangkap
mimpi, dan buku-buku penyembuhan spiritual.
Aku bahkan tidak masuk. Lewat
jendela kaca aku bisa melihat perempuan berumur lima puluh tahunan dengan
rambut panjang beruban tergerai di punggung, mengenakan pakaian tahun '60-an.
Ia tersenyum ramah dari balik konter. Kuputuskan tidak mencoba bicara
dengannya. Pasti ada toko buku normal di kota ini.
Aku menelusuri jalan demi jalan yang padat oleh orangorang
yang pulang kerja, berharap aku sedang menuju pusat kota. Aku tidak terlalu
memerhatikan arah langkahku; aku sedang berkutat dengan kesedihanku.
Aku sedang berusaha keras tidak memikirkan Edward, juga apa
yang dikatakan Angela... Lebih lagi, aku mencoba mematikan harapanku untuk
Sabtu nanti, khawatir akan lebih kecewa lagi. Ketika itulah aku mendongak dan
melihat sebuah Volvo silver diparkir dijalan. Tiba-tiba saja pikiran itu
menyergapku.
Dasar vampir tolol yang tak bisa dipercaya, pikirku.
Aku melangkah marah ke selatan, menuju beberapa toko berjendela kaca yang
sepertinya menjanjikan. Tapi ketika tiba di sana, itu hanya toko reparasi dan
toko kosong.
Masih ada terlalu banyak waktu sebelum bertemu Jess
dan Angela, dan jelas aku perlu memulihkan suasana hatiku sebelum bertemu
mereka lagi. Kusisir rambutku dengan jemari dan menarik napas dalam-dalam
sebelum berbelok di sudut jalan.
Ketika menyeberang, aku tersadar telah menuju ke arah yang
salah. Rambu lalu lintas yang kulihat menunjuk arah utara, dan sepertinya
bangunan-bangunan di sini kebanyakan gudang.
Kuputuskan untuk membelok ke timur di belokan berikut,
kemudian setelah beberapa blok aku berputar dan mencoba keberuntunganku dengan
mengambil jalan yang berbeda.
Empat cowok muncul dari pojokan yang kutuju,
berpakaian terlalu santai untuk kategori pekerja yang baru pulang kerja, tapi
terlalu lusuh sebagai turis. Ketika mereka mendekat, aku menyadari umur mereka
tidak terlalu jauh dariku.
Mereka bercanda sambil berteriak-teriak, tertawa liar
dan saling menonjok lengan. Aku bergegas menyingkir sejauh mungkin, memberi
jarak pada mereka, berjalan cepat, sambil menoleh ke arah mereka.
"Hei, kau!" panggil salah satu dari mereka
saat kami berpapasan, dan ia pasti berbicara denganku, mengingat tak ada orang
lain di sekitarku. Aku pun memandangnya. Dua dari mereka telah menghentikan
langkah, dua lagi memperlambat jalannya. Sepertinya yang berbicara denganku
tadi adalah yang paling dekat denganku.
Tubuhnya besar, berambut gelap, kira-kira awal dua
puluhan. Ia mengenakan kaus flanel di atas Tshirt kotornya, jins sobek-sobek,
dan sandal. Ia melangkah ke arahku.
"Halo," gumamku sebagai reaksi spontan.
Lalu aku cepat-cepat mengalihkan pandangan dan berjalan lebih cepat menuju
belokan. Bisa kudengar mereka tertawa keras di belakangku.
"Hei, tunggu!" salah satu memanggil lagi,
tapi aku terus menunduk dan berbelok sambil menghela napas lega. Masih kudengar
mereka tertawa tergelak-gelak di belakangku.
Aku mendapati diriku berjalan di trotoar yang melintasi
bagian belakang gudang-gudang yang suram, masingmasing dilengkapi pintu untuk
bongkar-muat truk, terkunci pada malam hari. Sisi selatan jalan tidak
bertrotoar, hanya pagar kawat dengan kawat berduri untuk melindungi sejenis
tempat penyimpanan mesin.
Sepertinya aku telah sampai di bagian Port Angeles yang
bukan diperuntukkan bagi turis. Aku tersadar hari mulai gelap, awan-awan
akhirnya berkumpul lagi di langit barat, membuat matahari terbenam lebih awal.
Langit timur masih bersih, tapi mulai kelabu dengan semburat merah jambu dan
Jingga. Aku tadi meninggalkan jaketku di mobil, dan dingin yang sekonyong-konyong
kurasakan membuatku bersedekap erat-erat. Sebuah van melintas di depanku, lalu jalanan kembali kosong.
Langit tiba-tiba menggelap, dan ketika menoleh untuk
memandang awan yang semakin mengancam, aku terkejut menyadari dua cowok
diam-diam mengendap-endap enam meter di belakangku.
Mereka cowok-cowok yang tadi, meski bukan yang
berambut gelap yang telah bicara denganku. Aku langsung membuang muka dan
mempercepat langkah. Perasaan merinding yang tak ada hubungannya dengan cuaca
membuatku gemetar lagi.
Tas kecilku kuselempangkan di tubuh seperti yang
seharusnya dilakukan supaya tidak bisa dicuri. Aku tahu persis di mana aku
menaruh semprotan ladaku—masih di ranselku di kolong tempat tidur, belum
dibuka. Aku tidak membawa banyak uang, hanya selembar dua puluh dolar dan
sedikit recehan. Aku berpikir akan menjatuhkan tasku dengan sengaja lalu kabur.
Tapi suara ketakutan di sudut benakku mengingatkanku
mereka mungkin saja lebih dari sekadar pencuri. Aku mendengarkan langkah mereka
dengan saksama, yang sekarang jauh lebih pelan daripada langkah berisik yang
mereka buat tadi.
Kedengarannya mereka tidak mempercepat langkah
ataupun semakin dekat denganku. Tarik napas, Bella, aku mengingatkan diri
sendiri. Kau tidak tahu apakah mereka mengikutimu. Aku terus berjalan secepat
mungkin tanpa benar-benar berlari, berkonsentrasi pada belokan kanan yang
sekarang tinggal beberapa meter.
Aku bisa mendengar mereka tertinggal jauh di
belakang. Sebuah mobil biru muncul dari selatan dan meluncur cepat ke arahku.
Aku berpikir untuk menyetopnya, tapi ragu, tak yakin apakah mereka benar-benar
mengejarku.
Aku sampai di sudut, tapi hanya dengan pandangan
sekilas aku tahu itu jalan buntu ke belakang bangunan yang lain. Aku setengah
berbalik dengan siaga; aku harus bergegas berian menyeberangi gang sempit itu,
kembali ke trotoar. Jalanannya berakhir di sudut berikut, di sana ada rambu
stop. Aku berkonsentrasi mendengarkan langkahlangkah
samar di belakangku, memutuskan akan lari atau tidak. Mereka
sepertinya tertinggal jauh di belakang, dan aku tahu kapan saja mereka bisa
menyusulku. Aku yakin bakal tersandung dan jatuh kalau berjalan lebih cepat
lagi.
Penutup Novel Twilight – Port
Angeles Bab 38
Gimana Novel twilight – Port Angeles Bab 38 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: