Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 36 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Mimpi
Buruk Bab 36
Kuputuskan untuk menghabiskan waktu satu jam membaca
sesuatu yang tak ada hubungannya dengan pelajaran sekolah. Aku membawa beberapa
buku ke Forks, dan yang paling tebal merupakan kumpulan karya Jane Austen.
Aku memilihnya dan pergi ke Halaman belakang. Dalam
perjalanan turun aku menyambar selembar selimut tua usang dari lemari di tangga
teratas.
Di luar, di halaman kecil Charlie yang berbentuk persegi,
selimutnya kulipat dua lalu kuhamparkan di bawah pepohonan, di atas rumput
tebal yang selalu agak basah, tak peduli seberapa lama matahari menyinarinya.
Aku berbaring menelungkup, mengangkat dan menyilangkan pergelangan kaki
membalik-balik halaman novel itu, mencoba memutuskan cerita manakah yang paling
menarik. Favoritku adalah Pride and Prejudice dan Sense and Sensibility.
Baru-baru ini aku telah membaca yang pertama, jadi kupilih
Sense and Sensibility. Setelah sampai bab tiga aku pun teringat bahwa tokoh
pahlawan di cerita itu kebetulan bernama Edward. Dengan marah kuganti bacaanku
dengan Mansfield Park, tapi pahlawan di buku itu bernama Edmund, hampir mirip.
Memangnya tak ada nama lain pada akhir abad kedelapan belas ya? Kubanting buku
itu hingga menutup, merasa jengkel, lalu berguling hingga telentang.
Kutarik lengan bajuku setinggi mungkin dan memejamkan mata.
Aku tidak memikirkan apa pun kecuali kehangatan yang kurasakan pada kulitku,
ujarku kasar pada diri sendiri. Angin masih sepoi-sepoi, tapi mampu meniup
bulu-bulu halus di wajahku, dan rasanya agak geli.
Kutarik rambutku ke atas, membiarkannya mengering di
selimut di atas kepalaku, dan kembali berkonsentrasi pada kehangatan yang
menyentuh kelopak mata, tulang pipi, hidung, bibir, lengan bawah, leher,
menembus kausku yang tipis...
Hal berikut yang kusadari adalah suara mobil patroli
Charlie memasuki halaman. Aku langsung terbangun, duduk, menyadari sinar
matahari sudah lenyap di balik pohon. Rupanya aku tertidur. Aku mengedarkan
pandang, bingung karena perasaan yang muncul tiba-tiba bahwa aku tak lagi
sendirian.
“Charlie?” panggilku. Tapi aku mendengar pintunya
terbanting menutup.
Aku melompat, merasa gugup dan konyol, mengumpulkan
selimut yang sekarang lembab dan bukubukuku.
Aku berlari masuk untuk memanaskan minyak, sadar
waktu maka malam sudah tiba. Charlie sedang menggantungkan sabuk senjatanya dan
melepaskan sepatu bot ketika aku masuk.
"Maaf, Dad, makan malam belum siap—aku ketiduran
di luar sana. Aku mengatakannya sambil menguap. "Jangan khawatir,”
katanya. "Aku hanya ingin cepatcepat nonton pertandingan kok."
Setelah makan malam aku nonton TV bersama Charlie
sekadar mengisi waktu. Tak ada yang ingin kutonton, tapi ia tahu aku tidak suka
bisbol, jadi ia menggantinya ke sitkom membosankan. Tak satu pun dari kami
menikmatinya.
Meski begitu ia kelihatan senang karena bisa
melakukan sesuatu bersamaku. Dan meskipun aku sedang sedih, rasanya
menyenangkan bisa membuatnya senang.
"Dad," karaku saat jeda iklan,
"besok malam Jessica dan Angela ingin ke Port
Angeles mencari gaun pesta dansa, dan mereka ingin aku membantu memilih...
apakah aku boleh ikut bersama mereka?"
"Jessica Stanley?" tanyanya.
"Dan Angela Weber." Aku menghela napas
ketika memberi keterangan tambahan padanya.
Ia bingung. "Tapi kau tidak akan pergi ke pesta
dansa, kan?"
"Tidak, Dad, tapi aku membantu mereka memilih
pakaian – kau tahu, memberi kritik yang membangun." Aku nggak perlu
menjelaskan hal ini kalau ayahku perempuan.
"Well,
baiklah." Ia sepertinya menyadari dirinya sama sej tidak mengerti urusan
anak perempuan. "Itu masih malam sekolah, kan?"
"Kami langsung pergi sepulang sekolah, jadi bisa
pulang lebih cepat. Kau bisa menyiapkan makan malam sendiri, kan?"
"Bells, aku memasak makananku sendiri selama
tujuh belas tahun sebelum kau datang," ia mengingatkanku.
"Aku tak tahu bagaimana kau bisa bertahan hidup
selama itu," gumamku, lalu menambahkan sesuatu yang lebih jelas, "aku
akan menyiapkan bahan-bahan sandwich di kulkas, oke? Persis di sebelah
atas."
Paginya matahari bersinar cerah lagi. Aku terbangun
dengan harapan baru yang susah payah coba kutekan. Aku mengenakan pakaian yang
cocok untuk udara hangat seperti sekarang, blus berpotongan V biru tua—sesuatu
yang kukenakan pada musim dingin yang parah di Phoenix.
Aku telah mengatur kedatanganku di sekolah agar tidak
terlalu pagi, sampai-sampai nyaris tak punya waktu untuk bergegas ke kelas.
Dengan hati mencelos aku mengitari parkiran yang
penuh, mencari tempat yang masih kosong, sambil mencari Volvo silver yang
jelas-jelas tak ada di situ. Aku memarkir truk di baris terakhir dan bergegas
ke kelas bahasa Inggris. Aku tiba terengah-engah, tapi berhasil sampai sebelum
bel terakhir berbunyi.
Hari ini sama seperti kemarin—aku tak bisa menahan
secercah harapan tumbuh dalam benakku, hanya untuk menyaksikannya hancur
berantakan saat dengan hati hancur aku mencari-cari mereka di ruang makan
siang, dan duduk sendirian di kelas Biologi.
Perjalanan ke Port Angeles akhirnya akan terwujud
malam ini. Rencana itu jadi semakin menarik karena Lauren mendadak ada urusan.
Aku benar-benar tak sabar lagi ingin meninggalkan kota supaya bisa berhenti
menoleh ke belakang, berharap melihatnya muncul tiba-tiba seperti yang selalu
dilakukannya.
Aku berjanji akan bersikap ceria malam ini dan tidak
merusak kesenangan Angela dan Jessica berburu pakaian. Mungkin aku juga bisa
membeli beberapa potong pakaian.
Kuenyahkan pikiran bahwa aku mungkin akan berbelanja
sendirian di Seattle akhir pekan ini, tak lagi tertarik dengan kesepakatan
tempo hari. Tak mungkin ia membatalkannya tanpa setidaknya memberitahuku.
Usai sekolah Jessica ikut ke rumahku dengan Mercury tuanya
yang putih, jadi aku bisa meninggalkan buku-buku dan trukku. Kusisir rambutku
cepat-cepat selagi di dalam, merasa sedikit senang membayangkan meninggalkan
Forks.
Aku meninggalkan pesan di meja untuk Charlie, kujelaskan
lagi di mana kusimpan makan malamnya. Lalu aku memindahkan dompet lipatku dari
tas sekolah ke tas kecil yang jarang kugunakan, lalu lari keluar dan bergabung
dengan Jessica.
Selanjurnya kami pergi ke rumah Angela, ia sudah menunggu
kami. Kegembiraanku meningkat cepat ketika kami akhirnya mengemudi meninggalkan
batas kota.
Penutup Novel Twilight – Mimpi
Buruk Bab 36
Gimana Novel twilight – Mimpi Buruk Bab 36 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: