Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 32 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight – Mimpi Buruk Bab 32
7. MIMPI BURUK
AKU memberitahu Charlie PR-ku banyak, dan tidak ingin
makan apa-apa. Ada pertandingan basket yang amat dinantikannya, dan tentu saja
aku berlagak tidak tahu apa istimewanya pertandingan itu. Karenanya, ia tidak
mencurigai ekspresi maupun nada suaraku.
Begitu sampai di kamar, aku mengunci pintu. Aku
mencari-cari di mejaku sampai menemukan headphone tuaku, dan memasangkannya ke
CD player kecilku. Kuambil CD hadiah Natal dari Phil. Isinya lagu-lagu dari
salah satu band favoritnya, tapi bas dan suara teriakannya kelewat berlebihan.
Aku memasukkan CD itu, menekan tombol Play, dan
membesarkan volumenya sampai telingaku sakit. Aku memejamkan mata, tapi cahaya
lampu masih menyilaukan, jadi kututup setengah wajahku dengan bantal.
Aku mendengarkan musiknya dengan saksama, mencoba
memahami liriknya, menguraikan pola dentuman drumnya yang rumit. Setelah tiga
kali memutar CD itu, setidaknya aku sudah hafal chorus-nya. Begitu aku bisa
menikmati suara-suara yang hingar-bingar ku, aku terkejut menyadari ternyata
aku menyukai band ini.
Berhasil. Dentuman bising itu membuatku tak mungkin
berpikir—tujuan utama kegiatan yang kulakukan ini. CDnya kuputar
berulang-ulang, sampai aku bisa ikut menyanyikannya, hingga, akhirnya, aku
tertidur. Aku membuka mata dan menyaksikan tempat yang tak asing lagi. Setengah
menyadari diriku sedang bermimpi, aku mengenali cahaya kehijauan hutan.
Aku bisa mendengar suara ombak menghantam karang tak
jauh dari tempatku berada. Dan aku tahu, kalau aku menemukan lautan, aku bisa
melihat matahari. Aku mencoba mengikuti suara itu, tapi Jacob Black ada di
sana, menarik-narik tanganku, membawaku kembali ke bagian hutan yang paling
kelam.
"Jacob, ada apa?" aku bertanya. Wajahnya
ketakutan dan ia menarikku sekuat tenaga sementara aku menolak; tak ingin pergi
ke tengah kegelapan.
"Lari, Bella, kau harus lari!" bisiknya
ketakutan.
"Lewat sini, Bella!" Aku mengenali suara
Mike memanggil-manggil dari antara pepohonan yang gelap, tapi aku tak bisa
melihatnya.
"Kenapa?" tanyaku,
masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Jacob, kini putus asa
menginginkan matahari.
Tapi Jacob melepaskan tanganku dan mendengking.
Sekonyong-konyong ia jatuh ke lantai hutan yang gelap, sekujur tubuhnya
gemetaran. Ia menggeliat-geliat di tanah sementara aku menyaksikannya dengan
ngeri.
"Jacob!" jeritku. Tapi ia sudah lenyap.
Dari tempatnya tadi berada muncul serigala besar berwarna merah kecokelatan
dengan sepasang mata hitam. Serigala itu memalingkan wajah ke pantai, bulu-bulu
tengkuknya meremang. Terdengar geraman pelan di antara taringtaringnya yang
keluar.
"Lari, Bella!" seru Mike lagi dari
belakang. Tapi aku tidak berpaling. Aku sedang memandang cahaya yang
menyinariku dari pantai.
Lalu Edward muncul dari balik pepohonan, kulitnya
bercahaya samar, matanya gelap dan berbahaya. Ia mengulurkan satu tangan dan
menyuruhku datang padanya. Serigala itu menggeram-geram di kakiku. Aku maju
selangkah, menghampiri Edward. Ia tersenyum, dan giginya tajam, runcing.
“Percayalah padaku," ujarnya, suaranya
mendengkur.
Aku melangkah sekali lagi.
Serigala itu melompat ke antara diriku dan si vampir,
taringnya siap menerkam leher Edward.
"Tidak!" teriakku, langsung bangkit dari
tempat tidur. Gerakanku yang tiba-tiba membuat headpbone-ku terlepas dan CD
player yang tergeletak di meja samping tempat tidur, kemudian jatuh di lantai
kayu. Lampu kamar masih menyala, aku duduk di tempat tidur masih berpakaian
lengkap dan mengenakan sepatu. Aku memandang jam di lemari pakaian, bingung.
Sudah pukul 05.30.
Aku mengerang, menjatuhkan diri lagi ke tempat tidur
dengan wajah menelungkup sambil melepaskan sepatu bot. Aku tak bisa tidur lagi.
Aku menggulingkan tubuh dan berbaring telentang,
membuka kancing jinsku, melepaskannya dengan susah payah sambil berusaha agar
rubuhku tetap lurus. Bisa kurasakan rambutku yang diikat menusuk-nusuk tengkuk.
Aku berbaring menyamping dan melepaskan ikatan rambutku,
lalu cepat-cepat menyisirnya dengan jemari. Aku menutup mataku lagi dengan
bantal. Percuma, tentu saja. Alam bawah sadarku telah menemukan bayangan yang
tepat yang dengan putus asa kucoba hindari.
Aku harus menghadapinya sekarang. Aku duduk, kepalaku
berputar-putar sebentar ketika darah mengalir turun. Lebih baik mandi dulu,
batinku, senang menundanya selama mungkin. Kuambil tas perlengkapan mandiku.
Acara mandinya tidak berlangsung selama yang
kuharapkan. Bahkan meski sudah berlama-lama mengeringkan rambut, tak ada lagi
yang bisa kulakukan di kamar mandi. Hanya dengan berbungkus handuk, aku
berjalan ke kamar.
Aku tidak tahu apakah Charlie masih tidur, atau sudah
pergi. Kuintip dari jendela, mobil patrolinya sudah tidak ada. Ia pergi
memancing lagi. Perlahan-lahan aku berpakaian, mengenakan sweterku yang paling
nyaman, lalu membereskan tempat tidur— sesuatu yang tak pernah kulakukan. Aku
tak bisa menundanya lebih lama lagi.
Jadi aku menghampiri meja belajar dan menyalakan
komputer tuaku. Aku benci menggunakan Internet di sini. Modemku sudah
ketinggalan zaman, layanan servis gratisnya buruk; untuk men-dial-up saja buruh
waktu lama hingga kuputuskan membuat semangkuk sereal sambil menunggu. Aku
makan pelan-pelan, mengunyah setiap suapan dengan sempurna. Setelah selesai
kucuci mangkuk dan sendoknya, lalu menyimpannya.
Kakiku kram ketika menaiki tangga. Ku ambil CD
player-ku dulu, memungutnya dari lantai dan meletakkannya tepat di
tengah-tengah meja. Kulepaskan headphone-nya, dan menyimpannya di laci lemari.
Lalu aku menyetel CD yang sama, langsung ke bagian yang berisik. Sambil
menghela napas aku berbalik menghadap komputer Layarnya sudah dipenuhi iklan
pop-up.
Aku duduk di kursi lipatku yang keras dan menutup
jendelajendela kecil itu Akhirnya aku bisa mengakses search engine favoritku. Kututup beberapa iklan pop-up yang masih
bermunculan, lalu mengetik satu kata.
Vampir.
Penutup Novel Twilight – Mimpi
Buruk Bab 32
Gimana Novel twilight – Mimpi Buruk Bab 32 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: