Monday, January 24, 2022

Bab 32 Novel Twilight – Mimpi Buruk - Baca Di Sini

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 32 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Mimpi Buruk Bab 32

7. MIMPI BURUK

AKU memberitahu Charlie PR-ku banyak, dan tidak ingin makan apa-apa. Ada pertandingan basket yang amat dinantikannya, dan tentu saja aku berlagak tidak tahu apa istimewanya pertandingan itu. Karenanya, ia tidak mencurigai ekspresi maupun nada suaraku.

Begitu sampai di kamar, aku mengunci pintu. Aku mencari-cari di mejaku sampai menemukan headphone tuaku, dan memasangkannya ke CD player kecilku. Kuambil CD hadiah Natal dari Phil. Isinya lagu-lagu dari salah satu band favoritnya, tapi bas dan suara teriakannya kelewat berlebihan.

Novel Twilight


Aku memasukkan CD itu, menekan tombol Play, dan membesarkan volumenya sampai telingaku sakit. Aku memejamkan mata, tapi cahaya lampu masih menyilaukan, jadi kututup setengah wajahku dengan bantal.

Aku mendengarkan musiknya dengan saksama, mencoba memahami liriknya, menguraikan pola dentuman drumnya yang rumit. Setelah tiga kali memutar CD itu, setidaknya aku sudah hafal chorus-nya. Begitu aku bisa menikmati suara-suara yang hingar-bingar ku, aku terkejut menyadari ternyata aku menyukai band ini.

Berhasil. Dentuman bising itu membuatku tak mungkin berpikir—tujuan utama kegiatan yang kulakukan ini. CDnya kuputar berulang-ulang, sampai aku bisa ikut menyanyikannya, hingga, akhirnya, aku tertidur. Aku membuka mata dan menyaksikan tempat yang tak asing lagi. Setengah menyadari diriku sedang bermimpi, aku mengenali cahaya kehijauan hutan.

Aku bisa mendengar suara ombak menghantam karang tak jauh dari tempatku berada. Dan aku tahu, kalau aku menemukan lautan, aku bisa melihat matahari. Aku mencoba mengikuti suara itu, tapi Jacob Black ada di sana, menarik-narik tanganku, membawaku kembali ke bagian hutan yang paling kelam.

"Jacob, ada apa?" aku bertanya. Wajahnya ketakutan dan ia menarikku sekuat tenaga sementara aku menolak; tak ingin pergi ke tengah kegelapan.

"Lari, Bella, kau harus lari!" bisiknya ketakutan.

"Lewat sini, Bella!" Aku mengenali suara Mike memanggil-manggil dari antara pepohonan yang gelap, tapi aku tak bisa melihatnya.

"Kenapa?" tanyaku, masih berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Jacob, kini putus asa menginginkan matahari.

Tapi Jacob melepaskan tanganku dan mendengking. Sekonyong-konyong ia jatuh ke lantai hutan yang gelap, sekujur tubuhnya gemetaran. Ia menggeliat-geliat di tanah sementara aku menyaksikannya dengan ngeri.

"Jacob!" jeritku. Tapi ia sudah lenyap. Dari tempatnya tadi berada muncul serigala besar berwarna merah kecokelatan dengan sepasang mata hitam. Serigala itu memalingkan wajah ke pantai, bulu-bulu tengkuknya meremang. Terdengar geraman pelan di antara taringtaringnya yang keluar.

"Lari, Bella!" seru Mike lagi dari belakang. Tapi aku tidak berpaling. Aku sedang memandang cahaya yang menyinariku dari pantai.

Lalu Edward muncul dari balik pepohonan, kulitnya bercahaya samar, matanya gelap dan berbahaya. Ia mengulurkan satu tangan dan menyuruhku datang padanya. Serigala itu menggeram-geram di kakiku. Aku maju selangkah, menghampiri Edward. Ia tersenyum, dan giginya tajam, runcing.

“Percayalah padaku," ujarnya, suaranya mendengkur.

Aku melangkah sekali lagi.

Serigala itu melompat ke antara diriku dan si vampir, taringnya siap menerkam leher Edward.

"Tidak!" teriakku, langsung bangkit dari tempat tidur. Gerakanku yang tiba-tiba membuat headpbone-ku terlepas dan CD player yang tergeletak di meja samping tempat tidur, kemudian jatuh di lantai kayu. Lampu kamar masih menyala, aku duduk di tempat tidur masih berpakaian lengkap dan mengenakan sepatu. Aku memandang jam di lemari pakaian, bingung. Sudah pukul 05.30.

Aku mengerang, menjatuhkan diri lagi ke tempat tidur dengan wajah menelungkup sambil melepaskan sepatu bot. Aku tak bisa tidur lagi.

Aku menggulingkan tubuh dan berbaring telentang, membuka kancing jinsku, melepaskannya dengan susah payah sambil berusaha agar rubuhku tetap lurus. Bisa kurasakan rambutku yang diikat menusuk-nusuk tengkuk.

Aku berbaring menyamping dan melepaskan ikatan rambutku, lalu cepat-cepat menyisirnya dengan jemari. Aku menutup mataku lagi dengan bantal. Percuma, tentu saja. Alam bawah sadarku telah menemukan bayangan yang tepat yang dengan putus asa kucoba hindari.

Aku harus menghadapinya sekarang. Aku duduk, kepalaku berputar-putar sebentar ketika darah mengalir turun. Lebih baik mandi dulu, batinku, senang menundanya selama mungkin. Kuambil tas perlengkapan mandiku.

Acara mandinya tidak berlangsung selama yang kuharapkan. Bahkan meski sudah berlama-lama mengeringkan rambut, tak ada lagi yang bisa kulakukan di kamar mandi. Hanya dengan berbungkus handuk, aku berjalan ke kamar.

Aku tidak tahu apakah Charlie masih tidur, atau sudah pergi. Kuintip dari jendela, mobil patrolinya sudah tidak ada. Ia pergi memancing lagi. Perlahan-lahan aku berpakaian, mengenakan sweterku yang paling nyaman, lalu membereskan tempat tidur— sesuatu yang tak pernah kulakukan. Aku tak bisa menundanya lebih lama lagi.

Jadi aku menghampiri meja belajar dan menyalakan komputer tuaku. Aku benci menggunakan Internet di sini. Modemku sudah ketinggalan zaman, layanan servis gratisnya buruk; untuk men-dial-up saja buruh waktu lama hingga kuputuskan membuat semangkuk sereal sambil menunggu. Aku makan pelan-pelan, mengunyah setiap suapan dengan sempurna. Setelah selesai kucuci mangkuk dan sendoknya, lalu menyimpannya.

Kakiku kram ketika menaiki tangga. Ku ambil CD player-ku dulu, memungutnya dari lantai dan meletakkannya tepat di tengah-tengah meja. Kulepaskan headphone-nya, dan menyimpannya di laci lemari. Lalu aku menyetel CD yang sama, langsung ke bagian yang berisik. Sambil menghela napas aku berbalik menghadap komputer Layarnya sudah dipenuhi iklan pop-up.

Aku duduk di kursi lipatku yang keras dan menutup jendelajendela kecil itu Akhirnya aku bisa mengakses search engine favoritku. Kututup beberapa iklan pop-up yang masih bermunculan, lalu mengetik satu kata.

Vampir.

Penutup Novel Twilight – Mimpi Buruk Bab 32

Gimana Novel twilight – Mimpi Buruk Bab 32 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: