Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 30 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan Darah Bab 30
Hasilnya tentu saja tidak sama, aku yakin, tapi toh
buktinya Jacob langsung bangkit mendengar ajakanku. Ketika kami berjalan ke
utara melewati bebatuan aneka warna, menuju garis batas yang penuh driftwood,
awan akhirnya menutupi langit, membuat laut gelap dan suhu turun. Kumasukkan
tanganku ke saku jaket.
“Jadi berapa umurmu? Enam belas?" tanyaku, berusaha
tidak terlihat seperti orang bodoh ketika mengerjapngerjapkan
mata seperti yang dilakukan cewek-cewek di televisi.
"Aku baru saja berumur lima belas," ia
mengaku malumalu.
"Sungguh?" Keterkejutanku benar-benar
palsu.
"Kupikir kau lebih tua."
"Untuk anak seusiaku, tubuhku cukup
tinggi," jelasnya.
"Kau sering ke Forks?" aku sengaja
bertanya, berharap jawabannya ya.
Benar-benar konyol. Aku khawatir ia akhirnya merasa
jijik dan menuduhku bersandiwara, tapi kelihatannya ia masih merasa tersanjung.
"Tidak terlalu," ia mengaku keheranan.
"Tapi setelah mobilku selesai, aku bisa pergi
sesering yang kumau— setelah aku dapat SIM," lanjutnya.
"Siapa cowok yang sedang berbicara dengan
Lauren? Dia kelihatan agak tua untuk bergaul dengan kita." Aku sengaja
meletakkan diriku di kelompok yang lebih muda, mencoba menunjukkan bahwa aku
lebih memilih Jacob.
"Itu Sam—umurnya sembilan belas," ia
memberitahuku. "Apa sih maksudnya soal keluarga dokter itu?" tanyaku
polos.
"Keluarga Cullen? Oh, mereka tak seharusnya datang
ke reservasi." Ia memalingkan wajah, memandang Pulau James, ketika ia
membenarkan apa yang kutangkap dari perkataan Sam.
"Kenapa tidak?" Ia menatapku sambil
menggigit bibir.
"Upss, aku tak seharusnya mengatakan apa-apa
tentang itu."
"Oh, aku takkan bilang siapa-siapa, aku hanya
penasaran." Aku berusaha tersenyum semenawan mungkin, sambil
bertanya-tanya apakah terlalu berlebihan.
Ia balas tersenyum menawan. Lalu satu alisnya
terangkat dan suaranya lebih parau dari sebelumnya.
"Kau suka cerita-cerita seram?" tanyanya,
suara tak menyenangkan.
"Aku suka," kataku bersemangat, mencoba
memancingnya.
Jacob beralih ke onggokan kayu terdekat yang
akarakarnya menjulur seperti kaki laba-laba besar yang pucat. Ia duduk di salah
saru akar sementara aku duduk di bawahnya. Ia memandang bebatuan, senyum
merekah di ujung bibirnya yang lebar. Aku tahu ia sedang mencoba membuatku
jatuh hati. Aku berusaha mengabaikannya.
"Tidakkah kau mengetahui satu saja legenda kami,
tentang asal-muasal kami—maksudku suku Quileute?" ia memulai ceritanya.
"Tidak juga," jawabku jujur.
"Well,
ada banyak legenda, beberapa dipercaya terjadi pada masa Banjir—konon katanya,
para leluhur Quileute mengikat kano mereka di ujung pohon tertinggi di
pegunungan untuk bisa selamat, seperti Nuh dan bahteranya." Ia tersenyum,
untuk menunjukkan padaku ia tidak terlalu memercayai sejarah.
"Legenda lainnya mengatakan kami keturunan
serigala—dan serigala-serigala masih bersaudara dengan kami. Membunuh mereka
berarti melanggar hukum suku."
"Lalu ada cerita tentang yang berdarah
dingin," Suaranya semakin rendah.
"Yang berdarah dingin?" tanyaku kaget, tak lagi
berpurapura.
"Ya, ada cerita-cerita tentang yang berdarah dingin,
cerita-cerita itu sama tuanya dengan legenda serigala, dan beberapa yang lain
belum terlalu tua. Menurut legenda itu kakek buyutku sendiri mengenal beberapa
dan mereka. Dialah yang membuat kesepakatan yang mengharuskan mereka menjauhi
tanah kami." Jacob memutar bola matanya.
"Kakek buyutmu?" aku memberanikan diri bertanya.
"Dia tetua suku, seperti ayahku. Kau tahu, yang
berdarah dingin adalah musuh alami serigala—well,
bukan serigala sesungguhnya, tapi serigala yang menjelma menjadi manusia,
seperti leluhur kami. Kau bisa menyebutnya werewolf— serigala
jadi-jadian."
"Werewolf punya musuh?"
"Hanya satu."
Aku menatapnya serius, berharap bisa menyamarkan
kejengkelanku menjadi kekaguman.
"Jadi kau tahu, kan," lanjut Jacob,
"secara tradisional, yang berdarah dingin adalah
musuh kami. Tapi kawanan yang datang ke wilayah kami pada masa kakek buyutku
berbeda. Mereka tidak memburu seperti yang dilakukan jenis mereka—mereka
seharusnya tidak berbahaya bagi suku kami. Jadi kakek buyutku membuat
kesepakatan damai dengan mereka. Kalau mereka mau berjanji untuk tidak
menginjak tanah kami, kami tidak akan memberitahu kawanan mereka lainnya yang
bermuka pucat mengenai mereka." Ia mengedip.
"Kalau mereka tidak berbahaya, lalu
kenapa..." Aku mencoba mengerti, berusaha supaya ia tidak menyadari betapa
seriusnya aku menanggapi cerita seramnya.
"Selalu berbahaya bagi manusia untuk berada
dekat dengan yang berdarah dingin, meskipun mereka beradab seperti halnya klan
ini. Kau takkan pernah tahu kapan mereka benar-benar lapar hingga tak bisa
menahan diri." Ia sengaja memberi tekanan pada kata-katanya barusan.
“Apa maksudmu dengan 'beradab'?'
"Mereka menyatakan tidak memburu manusia. Konon,
entah bagaimana caranya, mereka memburu binatang sebagai ganti manusia."
Aku berusaha terdengar tetap tenang. "Lalu apa
hubungannya dengan keluarga Cullen? Apakah mereka termasuk yang berdarah dingin
yang ditemui kakek buyutmu?"
“Tidak." Jacob tiba-tiba berhenti. "Mereka
adalah kelompok yang sama.”
Ia pasti berpikir raut wajahku
yang ketakutan disebabkan ceritanya. Ia tersenyum senang, dan melanjutkan
ceritanya lagi.
"Sekarang jumlah mereka bertambah, seorang
perempuan dan laki-laki baru, tapi sisanya sama saja. Pada masa kakek buyutku,
mereka sudah mengenal pemimpinnya, Carlisle. Dia sudah sering datang dan pergi
bahkan sebelum bangsa kalian datang ke sini." Jacob berusaha menahan
senyumnya.
"Lalu mereka itu apa?" akhirnya aku
bertanya. "Apakah
yang berdarah dingin?" Ia tersenyum misterius.
"Peminum darah," jawabnya, suaranya membuat
bulu kuduk meremang. "Bangsa kalian menyebutnya vampir." Aku
memandang ombak besar setelah ia menjawab pertanyaanku. Aku tak tahu bagaimana
rupaku.
"Kau merinding," ia tertawa gembira.
"Kau pencerita yang baik," aku memujinya,
sambil masih menatap ombak.
"Cerita yang cukup sinting, ya? Tak heran ayahku
tak ingin kami membicarakannya dengan orang lain." Aku belum dapat menahan
emosiku, jadi aku tidak berpaling menatapnya.
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 30
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 30 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: