Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini Stepheni
Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa
manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan,
perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel
Twilight Bab 3 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi
hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Pandangan Pertama Bab 3
Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup ketika meraih kunci rumah yang selalu disembunyikan di bawah daun pintu, dan menguncinya. Suara decitan sepatu bot antiairku yang baru membuatku takut. Aku merindukan bunyi keretakan kerikil saat aku berjalan. Aku tak bisa berhenti dan mengagumi trukku lagi seperti yang kuinginkan; aku sedang terburu-buru keluar dari kabut lembab yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku di balik tudung jaket.
Di dalam truk nyaman
dan kering. Entah Billy atau Charlie pasti telah membersihkannya, tapi dari jok
berlapis kulit cokelat itu samar-samar masih tercium bau tembakau, bensin, dan
peppermint. Mesinnya langsung menyala, dan aku lega dibuatnya, tapi derunya
keras sekali. Yah, truk setua ini pasti memiliki kekurangan. Radio antiknya
masih berfungsi, nilai tambah yang tak terduga.
Menemukan letak
sekolah tidaklah sulit, meskipun aku belum pernah ke sana. Bangunan sekolah,
seperti kebanyakan bangunan lainnya, letaknya tak jauh dari jalan raya. Tidak
langsung ketahuan itu sekolah sih; hanya papan namanya yang menyatakan bangunan
itu sebagai SMA Forks, yang membuatku berhenti. Bangunannya seperti sekumpulan
rumah serasi, dibangun dengan batu bata warna marun. Ada banyak sekali pohon
dan semak-semak sehingga awalnya aku tak bisa mengira-ngira luasnya. Di mana
aura institusinya? Aku membayangkan sambil bernostalgia. Di mana pagar-pagar
berantai dan pendeteksi logamnya?
Aku parkir di
depan bangunan pertama yang memiliki papan tanda kecil di atas pintu, bunyinya
TATA USAHA. Tak ada yang parkir di sana, sehingga aku yakin itu daerah parkir
khusus. Tapi aku memutuskan akan bertanya di dalam, daripada berputar-putar di
bawah guyuran hujan seperti orang tolol. Dengan enggan aku melangkah keluar
dari trukku yang nyaman dan hangat, menyusuri jalan setapak dari bebatuan kecil
berpagar warna gelap. Sebelum membuka pintu aku menghirup napas dalam-dalam. Di
dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari yang kuharap. Kantornya kecil,
ruang tunggunya dilengkapi kursi lipat berjok, karpet bersemburat Jingga,
pemberitahuan dan penghargaan bergantungan di dinding sebuah jam dinding besar
berdetak keras. Tanaman ada di mana-mana dalam pot plastik besar, seolah-olah
pepohonan yang tumbuh rimbun di luar masih belum cukup. Ruangan itu dibagi dua
oleh konter panjang berantakan karena keranjang-keranjang kawat penuh kertas.
Pamflet-pamflet warna terang direkatkan di depannya. Ada tiga meja di balik
konter, salah satunya dihuni wanita bertubuh besar berambut merah yang
mengenakan kacamata. Ia mengenakan T-shirt ungu, yang membuatku merasa
pakaianku berlebihan.
Wanita berambut
merah itu mendongak. "Bisa kubantu?" “Aku Isabella Swan,"
kataku. Kulihat matanya berkilat terkejut. Tak diragukan lagi, aku akan segera
menjadi topik gosip. Putri mantan istri Kepala Polisi yang bertingkah akhirnya
pulang.
“Tentu
saja," katanya. Ia mengaduk-aduk tumpukan dokumen di mejanya hingga
menemukan yang dicarinya. “Ini jadwal pelajaranmu, dan peta sekolah." Ia
membawa beberapa lembar ke meja konter dan memperlihatkannya padaku.
Kemudian ia
menjelaskan kelas-kelas yang harus kuambil, menerangkan rute terbaik menuju
masing-masing kelas pada peta, dan menyerahkan lembaran kertas yang harus
ditandatangani masing-masing guru. Pada akhir jam pelajaran nanti aku harus
menyerahkannya kembali. Ia tersenyum dan berharap, seperti Charlie, aku senang
berada di sini di Forks. Aku balas tersenyum meyakinkan sebisaku. Ketika aku
keluar lagi menuju truk, murid-murid lain berdatangan. Aku mengemudi
mengelilingi sekolah, mengikuti barisan mobil-mobil lain. Aku senang mobilmobil
lainnya juga sama tuanya seperti trukku, tak ada yang bagus. Di tempat asalku,
aku tinggal di permukiman kelas bawah di distrik Paradise Valley. Melihat
Mercedes baru atau Porsche di parkiran murid sudah biasa bagiku. Di sini, mobil
terbagus adalah Volvo yang bersih mengilap, dan jelas mencolok. Tetap saja aku
mematikan mesin begitu mendapatkan tempat parkir, sehingga suaranya yang keras
tidak menarik perhatian.
Aku mempelajari
petanya di dalam truk, berusaha mengingatnya; berharap aku tak perlu berjalan
sambil terus memeganginya seharian. Aku memasukkan semua ke tas, dan
menyandangkan talinya di bahu, dan menarik napas panjang. Aku bisa
melakukannya, aku setengah membohongi diriku. Tak ada yang bakal menggigitku.
Akhirnya aku mengembuskan napas dan melangkah keluar truk.
Kubiarkan wajahku
tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar yang dipenuhi
remaja. Jaket hitam polosku tidak mencolok, aku menyadarinya dengan perasaan
lega.
Begitu sampai di
kafetaria, gedung tiga dengan mudah kutemukan. Angka "3" hitam besar
dicat di kotak persegi putih di pojok sebelah timur. Aku mendapati napasku
pelan-pelan berubah terengah-engah begitu mendekati pintunya. Aku berusaha
menahan napas ketika mengikuti dua orang yang mengenakan jas hujan uniseks
melewati pintu.
Kelasnya kecil.
Orang-orang di depanku berhenti tepat di muka pintu untuk menggantungkan jas
hujan mereka di tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh mereka. Mereka dua
orang gadis, yang satu berambut pirang yang lain juga berkulit pucat, rambutnya
cokelat muda. Setidaknya warna kulitku tidak bakal mencolok di sini. Aku
menyerahkan lembaran tadi pada seorang guru, laki-laki tinggi botak yang di
mejanya terdapat papan nama bertuliskan Mr. Mason. Ia melongo menatapku ketika
melihat namaku—bukan respons yang membangun—dan tentu saja wajahku memerah
seperti tomat. Tapi setidaknya ia menyuruhku duduk di meja kosong di belakang
tanpa memperkenalkanku pada teman-teman sekelas. Sulit bagi teman-teman baruku
untuk menatapku di belakang tapi entah bagaimana mereka bisa melakukannya. Aku
terus menunduk, memandangi daftar bacaan yang diberikan guruku. Bacaan dasar:
Bronte, Shakespeare, Chaucer, Faulkner. Aku sudah pernah membaca semuanya.
Menyenangkan... dan membosankan. Aku membayangkan apakah ibuku mau mengirimkan
folder esai-esai lamaku atau apakah menurut dia itu sama dengan menyontek. Aku
berdebat dengannya dalam benakku sementara guru terus bicara.
Penutup Novel Twilight –
Pandangan Pertama Bab 3
Gimana Novel
twilight – Pandangan Pertama Bab 3 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.