Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 3
Baca Novel Elena Bab 3 Di Sini Sekarang
Eugene sudah tak
menginginkan bir dan rokoknya. Berpakaian lalu bergegas turun ke lobi hotel.
Ditemuinya lagi resepsionis, sambil menyodorkan bukunya. “Bisakah tolong kau
bacakan ini untuk saya?” tanyanya dalam bahasa Inggris pada resepsionis yang
mengangguk tersenyum ramah. “Aku menyukaimu. Maukah kau jadi ayahku satu hari?
Datanglah ke sekolahku besok.” Resepsionis itu berhenti membaca sebentar untuk
menterjemahkan kedalam bahasa Inggris. Ia menatap Eugene sesaat lalu
melanjutkan kembali dengan menyebutkan satu nama sekolah.
“Di mana sekolah itu?
Jauhkah?” tanya Eugene bersemangat. “Dekat, hanya beberapa blok dari sini. Kami
bisa mengantar jika kau mau.” “Sempurna. Oke, besok pagi aku akan siap
berangkat jam tujuh.” “Baiklah.” “Terima kasih banyak.” “Sama-sama.” Kembali ke
kamar, Eugene membuang semua persediaan bir dan rokoknya. Jika ia ingin menjadi
ayah yang baik, tentu ia tidak akan membawa pengaruh buruk untuk anaknya.
Tak apa hanya menjadi ayahnya
sehari, dari pada tidak sama sekali. Matanya berbinar, besok ia akan bertemu
Al! rasa Tetiba perutnya berbunyi, ia baru menyadari laparnya. Setelah
memasukkan beberapa barang yang diperlukan ke dalam tas selempang, ia turun
lagi untuk keluar makan dan berniat membeli sesuatu hadiah untuk Al.
Eugene mengamati
sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di
kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat
perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama
Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka
ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.
Dulu, ia pernah beberapa
kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena
karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu
berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin
nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat
wajah Elena yang bersemu merah karena malu. Selain karena menyukai tempat dan
menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobimemasak.
Baginya berwisata kuliner
merupakan salah satu cara yang menyenangkan untuk menambah pengetahuan dan keahliannya.
Dan Elena, mahluk yang selalu terlihat indah di matanya itu ... tidak bisa
memasak sama sekali! Lagi-lagi Eugene tersenyum-senyum sendiri. Tetiba ia rindu
menyiapkan makan malam untuk mereka berdua seperti dulu. Eugene menghabiskan
dua porsi soto betawi tanpa nasi dan teh hangat.
Setelah membayar ia lalu
beranjak pergi. Ia melangkah menuju sebuah pusat perbelanjaan. Selama
berhubungan dengan Elena, sedikit banyak ia telah menjelajahi kota ini. Sejak
melihat gambar Al, Eugene sudah tau persis hadiah apa yang akan diberikannya
pada anak itu. Tapi ternyata menemukan yang terbaik membutuhkan waktu yang
lumayan lama. Setelah memasuki beberapa toko akhirnya ia menemukan yang cocok.
Hari sudah gelap ketika
Eugene keluar dari pusat perbelanjaan membawa hadiah untuk Al. Ia merasa
sedikit letih dan memutuskan kembali ke hotel dengan naik taksi. Sesampainya di
kamar hotel, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang bertelanjang dada hanya
mengenakan celana boxer. Matanya terpejam tapi tidak tidur. Ia tak sabar menunggu
besok.
Wajah Al melintas lalu
berganti bayangan Elena yang menghampiri. Elena. Perempuan itu ... ia sudah
mengenalnya lama. Tapi terlalu lama sampai akhirnya terlambat menyadari bahwa ia
sangat mencintainya. Ia mengikuti setiap metaforsa Elena. Dari mulai gadis
manja, selalu bercelana jeans dan kaos oblong ke mana-mana. Lalu tiba-tiba
Elena memutuskan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.
Sampai akhirnya yang
paling mengejutkan yang ia lihat siang tadi. Elena terlihat anggun keibuan
bersahaja dengan kemeja panjang dan penutup kepala yang lebar. Dia sangat ...
terjaga ... sehingga Eugene tidak berani menyentuhnya meskipun dia sangat
ingin. Baginya, Elena telah melewati masa metamorfosis dan mencapai bentuk
terindahnya.
Apakah ini terkait dengan
panggilan telepon terakhirnya tujuh tahun lalu? Dia ingin beremigrasi dan
meninggalkannya. Apa itu migrasi? Elena tidak pernah menjelaskannya dan dia
sendiri tidak pernah mengetahuinya. Lalu Al? Bagaimana dengan Al? Apa dia tidak
berhak tahu tentang Al? Eugene menutupi wajahnya dengan bantal. Tapi semakin
dalam dia menenggelamkan wajahnya, semakin banyak ingatannya tentang Elena
tujuh tahun lalu sebelum wanita itu akhirnya menghilang, berkerumun di
kepalanya.
Tujuh tahun lalu Elena
baru bersiap pulang kantor ketika telepon genggamnya berbunyi. “Elena!” seru
suara yang sangat dikenalnya. “Eugene! Di mana kau?” “Masih di apartemen.
Tunggu, aku jemput kau setengah jam lagi di tempat biasa.” “Aku pikir kau sudah
terbang pulang ke Kanada siang tadi.” “Tidak, aku menambah cutiku sampai besok.
Aku masih ingin bersamamu.
Tunggu aku.” lalu telepon
di tutup. Elena duduk di sebuah kedai kopi sambil memainkan gawainya ketika
merasakan ubun-ubunnya dikecup seseorang dari belakang. Ia hapal betul siapa
yang melakukannya. Eugene tersenyum, duduk berhadap hadapan. Elena tak pernah
bisa berhenti jatuh cinta pada sosok di depannya, bahkan setelah ia menikah
sekalipun.
“Kau sudah selesai dengan
kopimu? Ayo kita pergi.” Ajak Eugene bersemangat. “Kau tak ingin minum dulu?”
“Tidak. Ayolah aku sudah tak sabar ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Eugene
meninggalkan selembar uang di bawah cangkir kopi dan menggamit lengan Elena
keluar dari kedai kopi. Mereka berjalan ke arah apartemen tempat Eugene tinggal
sementara selama di Jakarta.
Kantor Elena berada di
sebuah area yang cukup lengkap. Selain berjejer ruko-ruko perkantoran,
kedai-kedai kopi dan makanan, salon kecantikan, tempat hiburan, terdapat mall
terbesar Asia Tenggara, juga tersedia apartemen apartemen untuk disewakan baik
jangka panjang maupun pendek. Eugene selalu memilih tinggal di apartemen di
sekitar kantor Elena selama mengunjunginya di Jakarta. Sehingga ia bisa
sering-sering melewatkan waktu bersamanya mulai sarapan pagi, makan siang
bahkan makan malam.
Seringkali Eugene pamer
keahliannya memasak untuk Elena. Entah apa alasan Elena pada suaminya setiap ia
pulang larut, ia tidak peduli. Sampai di depan pintu apartemen, Eugene menutup
mata Elena dengan sapu tangan. “Apa-apaan ini?” Elena tertawa geli. “Ssst
percayalah padaku, masuklah dan cari aku. Kalau kau benar mencintaiku pasti kau
akan menemukanku.” Eugene berbisik, napasnya terasa hangat di telinga.
Lalu Eugene bergerak
menjauh. “Eugene, aku bisa jatuh menabrak sesuatu!” akan “Jangan khawatir, aku
menangkapmu jika kau jatuh.” Elena tertawa kecil, perasaannya campur aduk tak
karuan tapi ia menyukai perasaan itu. Elena melepaskan sepatu pantofelnya. Lalu
ia merasakan telapak kakinya menyentuh benda-benda kecil yang lembut, banyak
sekali dan wangi ... melati. Eugene sama sekali tak bersuara.
Elena benar-benar
mengandalkan ingatannya tentang tata letak ruangan dan penciumannya. Ia
berusaha mencari aroma khas dari tubuh Eugene diantara harumnya tebaran bunga
melati ia melangkah pelan dan hati-hati. Bruk! Elena menabrak Eugene lalu
mereka tertawa bersama. “Kau menemukanku.” kata Eugene sambil membuka ikatan
yang menutup mata Elena. Sejurus kemudian Elena terperangah.
Ruangan yang biasanya
berantakan kali ini terlihat begitu indah. Seluruh lantainya tertutup bunga
melati dan buket-buket mawar merah di setiap sudutnya. Eugene menggandeng Elena
yang masih terus mengitarkan pandangan tak percaya, ke meja makan. Elena
semakin terperangah, lampu yang temaram, dua batang lilin, setangkai mawar
merekah sempurna di tengah meja. Berikut dua gelas air putih dan peralatan
makan yang tertata rapih.
Eugene menarik kursi dan
mempersilakan Elena duduk. Ia lalu bergegas ke dapur, kembali lagi dengan dua
porsi besar steak daging sapi. Tentu saja, ia yang memasaknya. “Makanlah.” “Aku
tak bernapsu melihat daging sebesar ini.” Elena tertawa. “Kau ingin langsung ke
menu penutup?” kerling Eugene menggoda. Wajah Elena merah padam, malu.
Elena menghabiskan
seperempat porsi, perutnya tak kuat lagi. Tapi seperti biasa masakan Eugene
selalu pandai menyesuaikan cita rasa sehingga selalu cocok di lidahnya yang
asli Indonesia. Eugene bangkit, memutar instrumen lembut dengan volume pelan.
Lalu menghampiri Elena, mengajaknya berdansa. “Aku tidak bisa dansa.” bisik
Elena. “Letakkan kakimu di atas kakiku.” Eugene balas berbisik.
Elena menurutinya, Eugene
meraih pinggang Elena dan mendekatkan rapat ke tubuhnya. Wajah Elena tepat di
dada lelaki itu, ia menempelkan pipi kirinya di sana. Eugene mulai bergerak
perlahan. “Lihat, sekarang kau bisa berdansa.” ujar Eugene lirih sambil
menciumi kepala Elena. Harum rambutnya membangkitkan gairah. Napasnya mulai tak
beraturan. Elena merasakan jantungnya seperti berloncatan di dalam dadanya.
“Elena ...” “Ya ...” “Run away with me, would you? (Maukah kau pergi
bersamaku?” Eugene menghentikan gerak kakinya, diangkat dagu Elena. Mata
keduanya bertemu. “Kita bisa tinggal di manapun kau suka sampai kau bosan
berpindah-pindah dan memutuskan hidup sederhana di tepi pantai. Itu kan yang
kau mau dari dulu ...” “Aku tak bisa ... “ mata Elena mulai berkaca-kaca.
Eugene menghapus buliran
bening yang jatuh di pipi Elena. Ia merasakan nyeri di dadanya setiap kali
perempuan itu menangis. “I hate to see you cry Elena. I’ll wait till you ready.
(Aku benci melihatmu menangis, Elena. Aku akan menunggumu sampai kau siap.)”
Eugene mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah kalung berinisial huruf E
yang digandeng menjadi satu.
Ia memakaikannya di leher
Elena. “Apa ini?” “Ini kalung, masa kau tak tau. Hadiah dariku, supaya kau
ingat aku selalu menunggumu sampai kapanpun.” Eugenemengelusrambutpanjang
Elena. Mengecup kedua matanya, hidungnya lalu turun ke bibirnya. Elena
memejamkan mata, jemarinya meremas kemeja bagian belakang Eugene. Selanjutnya
kedua insan itu lupa segalanya, makin dalam masuk kubangan dosa.
Kembali ke kamar hotel Eugene
Tok! Tok! Tok! Suara pintu kamar diketuk agak
keras. Eugene terlonjak kaget. Ia ketiduran! “Mister sudah jam tujuh pagi ...”
ujar seseorang di balik pintu. “Oke oke saya akan turun sepuluh menit lagi!”
teriaknya dari dalam, panik. “Baik, mister. Saya tunggu di bawah.” Eugene
buru-buru mandi, berpakaian, tidak lupa memakai tas selempangnya dan melesat
turun ke lobi hotel. “I’m ready! (Saya siap!)” ujarnya sambil menghampiri meja
resepsionis.
“Ini Pak Udin. Supir
hotel, dia yang akan mengantarkan ke tujuan.” sahut resepsionis sambil
tersenyum ramah. “Halo Pak Udin. Saya Eugene. Ayo kita berangkat!” Dua puluh
menit sudah terjebak kemacetan. Eugene gelisah. “Masih jauh, Pak?” tanyanya
dalam bahasa Inggris. “Sebenarnya sudah dekat tapi karena macet jadi agak lebih
lama. Mister lihat lampu merah itu? Belok kanan sudah terlihat sekolahannya.”
“Baiklah, kalau begitu saya jalan saja. Ini Pak Udin, terima kasih.
” Eugene memberikan
selembar uang kepada Pak Udin dan buru-buru keluar dari mobil. Sepanjang jalan
ia berlari. Tak sulit baginya yang sudah terbiasa berolahraga. Sampai di depan
gerbang sekolah bercat merah, ia berhenti. Sejenak mengatur napasnya, lalu
membuka pagar. Tampak halaman sekolah tengah ramai dengan anak-anak murid dan
para ayah. Mata Eugene mencari-cari sosok Al. Baru dua langkah masuk halaman,
ia dihadang dua orang satpam.
“Maaf, ada yang bisa kami bantu?” tanya salah seorang dari mereka. “Ya, saya sudah berjanji datang pada Al hari ini.” “Al siapa?” “Al Fatih, anaknya Elena.” terang Eugene mulai tak sabar. “Anda siapa?” Rasanya ingin sekali Eugene menjawab, ‘Saya ayahnya’ tapi tentu saja itu tidak mungkin.
“Saya temannya.” “Hah? Temannya?” kedua satpam itu saling berpandangan, merasakan adalah hal yang konyol anak kelas 1SD berteman dengan lelaki asing usia 40 tahunan. “Tolonglah, saya sudah berjanji akan datang hari ini pada Al.” Eugene setengah memohon. “Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya.” Ujar satpam itu tegas. “Ya Tuhan ...” Eugene meremas rambutnya kesal.
Kesimpulan Novel Elena Bab 3
Bagaiman Bab 3 nya, saya yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya di bab berikutnya. Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
0 comments: