Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 29 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan Darah Bab 29
Selama makan siang awan mulai berkumpul, perlahanlahan
menutupi langit biru, kadang-kadang menghalangi matahari, menciptakan bayangan
panjang sepanjang pantai, dan membuat ombak berubah gelap. Selesai makan
orangorang
mulai berpencar dalam kelompok lebih kecil, berdua
atau bertiga. Beberapa menghampiri gelombang yang menyapu bibir pantai, mencoba
melompati bebatuan yang permukaannya kasar. Yang lain bersama-sama mengadakan
ekspedisi menuju kolam pinggir laut. Mike—bersama Jessica yang selalu
mengekorinya— beranjak ke toko di pedesaan.
Beberapa anak setempat ikut bersama mereka; yang lain
ikut mendaki. Ketika mereka sudah berpencar dengan urusan masing-masing, aku
duduk sendirian di seonggok kayu, bersama Lauren dan Tyler yang sibuk
mendengarkan CD yang dibawa satu dari kami. Tiga remaja dari reservasi
mengitari api, termasuk cowok bernama Jacob dan cowok lebih tua yang sepertinya
berperan sebagai juru bicara.
Beberapa menit setelah Angela pergi bersama para pendaki,
Jacob pindah duduk di sebelahku, menggantikan Angela. Sepertinya dia berumur
empat belas, mungkin lima belas, rambutnya yang hitam panjang mengilap diikat
di tengkuk.
Kulitnya menawan, halus dan kecokelatan; matanya gelap,
sangat cekung karena tulang pipinya tinggi. Ia masih tampak kekanak-kanakan
karena dagunya yang agak gemuk. Secara keseluruhan wajahnya sangat tampan.
Bagaimanapun juga penilaian positifku mengenai rupanya langsung berubah akibat
kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya.
"Kau Isabella Swan, kan?"
Rasanya seolah pengalaman hari pertama sekolah
terulang kembali.
"Bella," keluhku.
"Aku Jacob Black." Ia mengulurkan tangan dengan
ramah. Kau membeli truk ayahku."
"Oh," sahutku lega, sambil menjabat
tangannya yang ramping. "Kau putra Billy. Mungkin seharusnya aku
mengingatmu."
"Bukan, aku yang bungsu—kau pasti ingat
kakak-kakak ku."
"Rachel dan Rebecca," tiba-tiba aku
teringat. Charlie dan Billy sering menyuruh kami bermain bersama setiap kali
aku berkunjung ke Forks, agar mereka bisa pergi memancing Kami semua pemalu
sehingga sulit untuk bisa berteman.
Tentu saja ketika umurku sebelas tahun, aku selalu
membuat ayahku marah sehingga acara memancing pun terhenti.
"Apakah mereka ada di sini?" Aku
memerhatikan para cewek di ujung pantai, membayangkan apakah sekarang aku bisa
mengingat mereka.
"Tidak." Jacob menggeleng. "Rachel
mendapat beasiswa untuk belajar di Washington, dan Rebecca sudah menikah dengan
peselancar Samoa—sekarang dia tinggal di Hawaii."
"Menikah. Wow." Aku terpana mengingat usia
si kembar tak beda jauh dariku. Mereka hanya setahun lebih tua dariku.
"Jadi, kau menyukai truknya?" tanyanya.
"Aku menyukainya. Truknya hebat."
"Yeah, tapi jalannya pelan sekali," ia
tertawa.
"Aku lega sekali waktu Charlie membelinya.
Ayahku takkan mengizinkanku membuat yang baru kalau kami masih memiliki
kendaraan yang menurutnya sempurna."
"Tidak sepelan itu kok," sergahku.
"Kau pernah mencoba lebih dari enam puluh
kilometer per jam?"
"Belum," jawabku.
"Bagus. Kalau begitu jangan." Ia nyengir.
Aku tak bisa menahan diri untuk tidak balas
tersenyum.
"Tapi truk itu hebat untuk urusan
tabrak-menabrak," kataku membanggakan truk yang sekarang milikku itu.
"Kurasa tank pun tak bisa mengalahkannya," Jacob menimpali sambil
tertawa.
"Jadi kau bisa merakit mobil?" tanyaku,
terkagumkagum.
“Ya, kalau aku punya waktu dan semua perlengkapannya.
Kau tidak tahu dari mana aku memperoleh kemampuan mengotak-atik silinder mesin
Volkswagen Rabbit tahun 1986, kan?" candanya. Suaranya serak, namun enak
didengar.
"Maaf," aku tertawa, "aku belum tahu,
tapi aku berjanji akan mencari tahu." Seolah-olah aku tahu saja apa
maksudnya tadi. Ia sangat mudah diajak bicara. Ia tersenyum menawan,
memandangku bersahabat, sorot matanya masih coba kupahami. Ternyata bukan hanya
aku yang memerhatikan.
"Kau kenal Bella, Jacob?" tanya
Lauren—dengan nada yang kupikir kasar—dari seberang.
"Boleh dibilang kami sudah saling kenal sejak
aku lahir," ia tertawa, tersenyum padaku lagi.
"Bagus sekali." Lauren sama sekali tak
terdengar sungguh-sungguh dengan ucapannya, dan mata pucatnya yang curiga
menyipit.
"Bella," panggilnya lagi, sambil
memerhatikan wajahku.
"Aku baru saja bilang pada Tyler, sayang sekali
tak satu pun anak-anak Cullen ikut hari ini. Tak adakah yang terpikir untuk
mengajak mereka?" Ekspresi kepeduliannya tidak meyakinkan.
"Maksudmu anak-anak dr. Carlisle Cullen?"
cowok lebih tua yang bertubuh jangkung bertanya sebelum aku menjawab Lauren,
dan tentu saja ini membuat Lauren jengkel. Cowok itu lebih mirip pria dewasa
daripada remaja, dan suaranya sangat berat.
"Ya, kaukenal mereka?" Lauren terdengar
mengejek, dan setengah berbalik menghadapnya.
"Anak-anak Cullen tidak datang ke sini,"
jawabnya dengan nada mengakhiri pembicaraan, mengabaikan pertanyaan Lauren.
Tyler, yang mencoba menarik kembali perhatian Angela
meminta pendapat tentang CD yang dipegangnya.
Perhatian Angela pun teralihkan.
Aku menatap cowok bersuara berat itu, terkejut, tapi
ia menatap lurus jauh ke hutan gelap di belakang kami. Katanya anak-anak Cullen
tidak datang ke sini, tapi nada suaranya seperti mengatakan hal lain—bahwa
mereka tidak diizinkan; mereka dilarang datang. Sikapnya meninggalkan kesan
janggal bagiku, kucoba mengabaikannya tapi tidak berhasil.
Jacob mengusik ketenanganku. "Jadi, apakah Forks
sudah membuatmu sinting?”
"Oh, bagiku itu sesuatu yang ironis." Aku
nyengir. Ia tersenyum penuh pengertian.
Aku masih memikirkan komentar tentang anak-anak keluarga
Cullen, dan tiba-tiba saja mendapat inspirasi. Rencana bodoh, tapi aku tak
punya ide yang lebih bagus. Kuharap Jacob yang masih muda itu belum begitu
berpengalaman dengan cewek, sehingga ia tak menyadari usaha menyedihkanku untuk
merayunya.
"Kau mau jalan-jalan di pantai bersamaku?"
tanyaku, mencoba meniru cara Edward memandang dari balik bulu matanya.
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 29
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 29 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: