Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 28 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan Darah Bab 28
Angin kencang bertiup bersama ombak, sejuk dan asin.
Burung-burung pelikan melayang di atas buih ombak sementara camar dan elang
terbang di atas mereka. Awanawan
masih mengelilingi langit, seolah mengancam akan
menutupinya sewaktu-waktu, tapi untuk sementara matahari bersinar cerah di
langit yang biru. Kami berjalan menuju pantai, Mike memimpin di depan menuju
lingkaran driftwood yang sepertinya telah digunakan orang-orang yang juga
berpesta seperti kami. Ada api unggun di sana, penuh abu hitam.
Eric dan cowok yang kukira bernama Ben, mengumpulkan
patahan ranting driftwood dari sisi yang kering di dekat hutan, dan tak lama
kemudian tampaklah tumpukan ranting di atas sisa-sisa abu.
"Kau pernah melihat api unggun driftwood?"
Mike bertanya.
Aku duduk di kursi pantai yang terbuat dari tulang
diwarnai; cewek-cewek lain berkumpul, bergosip ceria di sebelahku. Mike
berlutut di depan api unggun, menyalakan ranting terpendek dengan korek api.
"Belum," kataku ketika dengan hati-hati ia
meletakkan ranting yang menyala di tumpukan itu.
“Kalau begitu kau akan menyukai ini—perhatikan
warna-warnanya." Ia membakar satu ranting kecil lagi dan menaruhnya di
sebelah ranting pertama.
Apinya dengan cepat mulai menjilati kayu yang kering.
"Warnanya biru," kataku kagum.
"Itu karena garam. Cantik, ya?" Ia
menyalakan sebatang ranting kecil lagi, dan menaruhnya di tempat yang belum
terjilat api, lalu duduk di sebelahku.
Untung Jess ada di sisinya yang lain. Ia berbalik
menghadap Mike dan mencoba menarik perhatiannya. Aku memerhatikan api hijau dan
biru aneh itu menyeruak ke angkasa. Setelah setengah jam mengobrol, beberapa
cowok ingin mendaki ke kolam pasang-surut terdekat.
Ini benar-benar dilema. Di satu sisi aku menyukai
kolam pasang-surut. Aku sudah menyukainya sejak kecil; kolam-kolam inilah yang
ku-nanti-nantikan setiap kali aku datang ke Forks.
Di sisi lain aku juga sering tenggelam di sana. Bukan
masalah besar ketika kau berumur tujuh tahun dan sedang bersama ayahmu. Ini
mengingatkanku pada permintaan Edward— agar tidak jatuh ke lautan.
Lauren-lah yang menyuarakan keputusanku. Ia tidak
ingin mendaki, dan jelas ia mengenakan sepatu yang tidak cocok untuk mendaki.
Kebanyakan cewek lain kecuali Angela dan Jessica memutuskan tetap di pantai.
Aku menunggu sampai Tyler dan Eric memutuskan untuk tetap bersama mereka.
Lalu aku bangkit diam-diam untuk bergabung dengan
anak-anak yang ingin mendaki. Mike tersenyum lebar ketika melihatku bergabung.
Pendakiannya tidak terlalu panjang, meski aku benci kehilangan langit di tengah
hutan.
Cahaya hijau yang dipancarkan hutan terasa aneh
ditingkahi suara tawa para remaja, terlalu kelam dan berbahaya untuk diselingi
senda gurau di sekitarku. Aku harus berhati-hati melangkah, menghindari
akar-akar yang menyembul di bawah, dan ranting-ranting di atas kepalaku, dan
aku pun langsung tertinggal dari yang lain.
Akhirnya aku berhasil melewati kungkungan hutan yang hijau
dan menemukan pantai berbatu lagi. Ombaknya rendah, dan sungai tampak mengalir
melewati kami menuju lautan. Sepanjang tepiannya yang berbaru-baru, kolamkolam
dangkal yang tak pernah benar-benar kering tampak hidup.
Aku sangat berhati-hati agar tidak mencondongkan
tubuhku terlalu jauh ke atas kolam. Yang lain sepertinya tak kenal takut,
melompat-lompat di antara bebatuan, bertengger di ujung tebing berbahaya.
Aku menemukan batu yang sepertinya cukup mantap di
ujung salah satu kolam terbesar, lalu duduk hati-hati di sana, terpesona pada
pemandangan akuarium di bawahku. Rangkaian anemon yang indah bergoyang tanpa
henti di karang-karang yang sekarang tampak jelas.
Samar-samar kepiting merangkak di antaranya, bintang
laut tersangkut tak bergerak di bebatuan yang bersisian, sementara belut kecil
hitam bergaris putih menggeliat melewati rumput laut yang hijau, menunggu ombak
menyeretnya kembali ke laut.
Aku begitu terlena, kecuali satu bagian kecil
pikiranku yang membayangkan apa yang sedang dilakukan Edward sekarang, dan
berusaha membayangkan apa yang akan dikatakannya bila ia berada di sini
bersamaku.
Akhirnya cowok-cowok kelaparan, dan aku pun bangkit dengan
tubuh kaku dan mengikuti mereka. Kali ini aku mencoba lebih keras untuk
mengikuti kecepatan mereka melintasi hutan, hingga beberapa kali aku terjatuh.
Telapak tanganku beberapa kali tergores, dan bagian lutut
jinsku bernoda hijau, tapi bisa saja lebih parah. Ketika kami kembali ke First
Beach. jumlah orang di sana sudah bertambah. Ketika makin dekat, kami bisa
melihat para pendatang baru itu berambut hitam panjang berkilauan, kulit mereka
berwarna tembaga. Rupanya para remaja dari reservasi datang untuk
bersosialisasi.
Makanan sudah diedarkan dan para cowok buru-buru meminta
jatah mereka sementara Eric memperkenalkan kami satu per satu sambil memasuki
lingkaran. Angela dan aku tiba terakhir, dan, ketika Eric memperkenalkan nama
kami, aku memerhatikan cowok lebih muda yang duduk di batu dekat perapian
menatapku tertarik.
Aku duduk di sebelah Angela, dan Mike membawakan kami
sandwich dan beberapa minuman bersoda, sementara seorang cowok yang sepertinya
lebih tua menyebutkan tujuh nama lain yang ikut bersamanya. Yang bisa kutangkap
adalah salah satunya juga bernama Jessica, dan si cowok yang memerhatikanku
bernama Jacob.
Duduk bersama Angela sangat menenangkan; ia memang tipe yang
membuat orang yang berada di dekatnya merasa nyaman—ia merasa tak perlu mengisi
keheningan dengan percakapan. Ia membiarkanku makan dengan tenang sambil
berpikir.
Aku berpikir betapa waktu di Forks berlalu dengan tidak
teratur, sering kali samar-samar, dengan satu bayangan tampak lebih jelas dari
yang lain. Lalu pada saat lain setiap detik begitu penting, dan melekat dalam
pikiranku. Aku tahu benar apa yang menyebabkan perbedaan ini, dan hal itu
menggangguku.
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 28
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 28 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: