Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 26 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan Darah Bab 26
"Kenapa?" tanyanya, penasaran lagi.
"Ibuku selalu bilang aku berusia 35 tahun ketika dilahirkan dan umurku
semakin mendekati paruh baya setiap tahun.
" Aku tertawa, lalu menghela napas. "Well, harus ada yang menjadi orang
dewasanya." Aku berhenti sebentar.
"Kau sendiri tidak kelihatan seperti murid SMA
yang masih baru," kataku.
Raut wajahnya berubah dan ia langsung mengganti topik
pembicaraan.
"Jadi, kenapa ibumu menikah dengan Phil?"
Aku terkejut ia mengingat nama itu; aku baru menyebutnya sekali, itu pun hampir
dua bulan yang lalu.
Butuh beberapa saat untuk menjawabnya.
"Ibuku... sangat muda bagi umurnya. Kupikir Phil
membuatnya merasa lebih muda lagi. Bagaimanapun juga, dia tergila-gila pada
Phil.
" Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ketertarikan
Mom pada Phil merupakan misteri bagiku.
"Kau menyetujuinya?" tanya Edward.
"Apakah itu penting?" tantangku.
"Aku ingin dia bahagia... Phil laki-laki yang
diinginkannya."
"Kau baik sekali... aku jadi berpikir,"
ujarnya kagum. "Apa?"
"Menurutmu, apa dia akan melakukan hal yang sama
untukmu? Siapa pun pilihanmu?"
Tiba-tiba ia berubah serius, matanya mencari-cari
jawaban di mataku.
"Ku-kurasa," ujarku terbata-bata.
"Tapi bagaimanapun, dialah sang orangtua. Jadi
agak berbeda."
"Kalau
begitu tak ada yang terlalu menyeramkan," godanya.
Aku nyengir. "Apa maksudmu menyeramkan?
Macammacam tindikan di wajah dan tato-tato?"
"Kurasa itu salah satunya."
"Menurutmu bagaimana?"
Tapi ia mengabaikan pertanyaanku dan menanyakan hal
lain.
"Apakah pikirmu aku bisa menyeramkan?" Satu
alisnya terangkat dan secercah senyum membuat wajahnya tampak sedikit cerah.
Sesaat aku berpikir mana yang sebaiknya kukatakan,
kebenaran atau kebohongan. Kuputuskan untuk mengatakan yang sejujurnya.
"Hmmm... kupikir kau bisa, kalau mau."
"Apakah sekarang kau takut padaku?"
Senyumnya lenyap dan wajahnya yang indah sekonyong-konyong serius.
"Tidak." Tapi aku menjawab terlalu cepat.
Ia kembali tersenyum.
"Jadi, apakah sekarang kau mau menceritakan
tentang keluargamu?" aku bertanya untuk mengalihkan perhatiannya.
“Pasti ceritamu lebih bagus daripada aku." Ia
langsung berhati-hati. "Apa yang ingin kauketahui* "Keluarga Cullen
mengadopsimu.'" tanyaku.
"Ya."
Beberapa saat aku jadi ragu. "Apa yang terjadi
dengan orang, tuamu?"
"Mereka meninggal bertahun-tahun yang
lalu." Suaranya datar.
"Maafkan aku," gumamku.
"Aku tak begitu ingat mereka. Sekarang Carlisle
dan Esme sudah cukup lama menjadi orangtua bagiku."
"Dan kau menyayangi mereka." Itu bukan
pertanyaan. Perasaan itu tampak jelas dari caranya membicarakan mereka.
"Ya" Ia tersenyum. "Aku tak pernah
membayangkan dua orang lain yang lebih baik."
"Kau sangat beruntung."
"Aku tahu."
"Kakak dan adikmu?"
Ia melirik jam di dasbor.
"Saudara-saudaraku, Jasper dan Rosalie, akan
sangat kecewa kalau mereka harus kehujanan menungguku." "Oh, maaf,
kurasa kau harus pergi." Aku tak ingin keluar dari mobil.
"Dan barangkali kau ingin trukmu kembali ke
rumah sebelum Kepala Polisi Swan pulang, jadi kau tidak perlu memberitahunya
tentang insiden di kelas Biologi." Ia tersenyum padaku.
"Aku yakin dia sudah mendengarnya. Tidak ada
rahasia di Forks." Aku mendesah.
Ia tertawa, ada kekhawatiran dalam tawanya.
“Selamat bersenang-senang di pantai... cuacanya bagus
untuk berjemur." Ia memandangi hujan yang masih turun.
“Apa aku akan bertemu denganmu besok?"
"Tidak. Emmet dan aku memulai akhir pekan lebih awal."
"Apa yang akan kalian lakukan?" Seorang
teman boleh menanyakan itu, kan? Kuharap suaraku tidak terdengar terlalu
kecewa.
"Kami akan mendaki Goat Rocks Wilderness, di
selatan
Rainier."
Aku ingat Charlie pernah bilang keluarga Cullen
sering pergi kemping.
"Oh, Well, selamat bersenang-senang." Aku berusaha terdengar
antusias. Kurasa aku tak berhasil membodohinya.
Senyum tipis merekah di ujung bibirnya. "Maukah
kau melakukan sesuatu untukku akhir pekan ini?" Ia berbalik dan menatapku
lekat-lekat, matanya yang keemasan menyala-nyala. Aku mengangguk putus asa.
"Jangan tersinggung, tapi kau sepertinya tipe
orang yang dengan mudah menarik bahaya seperti magnet. Jadi... cobalah tidak
jatuh ke lautan atau tertabrak atau semacamnya, oke?" Ia tersenyum sangat
lebar. Keputusasaan memudar ketika ia bicara. Aku memandangnya.
"Akan kuusahakan," ujarku marah ketika
melompat menerobos hujan. Aku membanting pintu mobil sekuat tenaga. Ia masih
tersenyum ketika berlalu dari pandanganku. 6. KISAH-KISAH SERAM
KETIKA duduk di kamarku, berusaha berkonsentrasi pada
bagian ketiga Macbeth, aku menunggu-nunggu suara trukku. Kupikir, meskipun di
tengah guyutan hujan, aku pasti akan mendengar deru mesinnya.
Tapi ketika aku mengintip dari balik tirai—lagi—truk
itu tiba-tiba sudah di sana. Aku sama sekali tak menanti-nantikan hari Jumat,
dan ini melebihi sesuatu yang tidak kuharapkan. Tentu saja ada
komentar-komentar tentang insiden aku pingsan.
Terutama Jessica, sepertinya ia sudah mendengar
semuanya. Untungnya Mike tidak bilang apa-apa, dan sepertinya tak seorang pun
tahu Edward terlibat. Meski begitu, Jessica punya banyak sekali pertanyaan
mengenai kejadian saat makan siang.
"Jadi, apa yang diinginkan Edward Cullen
kemarin?" Jessica bertanya di kelas Trigono.
"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Dia
tak pernah mengatakannya."
"Kau sepertinya agak marah," pancing
Jessica.
"Oh ya?" sahutku, wajahku tetap datar.
"Kau tahu, aku tak pernah melihatnya duduk
dengan orang lain kecuali keluarganya. Itu aneh."
"Memang aneh," ujarku setuju. Jessica
tampak jengkel; ia mengibaskan rambut ikalnya yang berwarna gelap dengan tidak
sabar—kurasa ia mengharapkan jawaban yang bisa digosipkannya pada orang lain.
Itulah bagian terburuk dari hari Jumat, dan meskipun aku
tahu Edward takkan muncul, aku toh masih berharap. Ketika aku memasuki
kafetaria bersama Jessica dan Mike, aku tak bisa menahan diri memandang meja
tempat ia biasa duduk. Hari ini hanya Rosalie, Alice, dan Jasper yang duduk
mengobrol di sana. Dan aku tak bisa mengenyahkan kesedihan yang menyelimutiku
ketika menyadari berapa lama lagi aku harus menunggu sampai bisa melihat Edward
lagi.
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 26
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 26 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: