Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 25 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan Darah Bab 25
"Miss Cope?"
"Ya?" Aku tak mendengar ia sudah kembali ke
mejanya.
"Setelah ini Bella ada pelajaran Olahraga, dan
kurasa dia belum pulih benar. Sebenarnya aku berpikir akan mengantarnya pulang
sekarang. Apakah Anda bisa memintakan izin untuknya?" Suaranya semanis
madu dan memabukkan. Bisa kubayangkan betapa memukau matanya.
"Apa kau juga perlu izin, Edward?" tanya
Miss Cope agak memprotes. Kenapa aku tak bisa melakukan itu? "Tidak, Mrs.
Goff takkan keberatan."
"Oke, kalau begitu semuanya beres. Kau merasa
lebih baik, Bella?" serunya. Aku mengangguk lemah, mencoba tampak selemah
mungkin.
"Apa kau bisa berjalan, atau kau perlu kugendong
lagi?”
Karena sekarang ia memunggungi Miss Cope, ekspresinya
kembali mengejek.
"Aku jalan saja."
Aku berdiri hati-hati, dan aku baik-baik saja. Ia
membukakan pintu untukku, senyumnya ramah tapi matanya mengejek. Aku berjalan
menembus udara dingin dan kabur tebal yang baru saja mulai turun.
Rasanya menyenangkan—pertama kalinya aku menikmati
tetesan hujan yang turun dari langit—aku bisa membersihkan wajahku dari
keringat yang lengket.
"Terima kasih," kataku ketika ia mengikutiku
keluar.
"Asyik juga bisa membolos Olahraga."
"Sama-sama." Ia menatap lurus ke depan,
menyipitkan mata menembus hujan.
"Jadi, kau pergi nggak? Maksudku, Sabtu
ini?" Aku berharap jawabannya ya, meskipun tampaknya mustahil. Aku tak
bisa membayangkan ia berdesak-desakan di mobil bersama anak-anak lain; ia bukan
tipe seperti itu. Tapi aku hanya berharap ia mungkin saja memberiku semangat
yang mestinya kurasakan kalau pergi berpiknik.
"Sebenarnya kalian mau ke mana?" Ia masih
menatap ke depan, tanpa ekspresi.
"La Push, ke First Beach." Kuamati
wajahnya, mencoba membacanya. Sepertinya mata Edward nyaris terpejam. Ia
menunduk dan melirikku, tersenyum ironis.
"Seperanya aku benar-benar tidak diundang."
Aku menghela napas.
"Aku baru saja mengundangmu.”
"Sudahlah, sebaiknya kau dan aku tidak mendesak
Mike lagi minggu ini. Kita tidak ingin dia marah, kan?" Sorot matanya
menari-nari; ia menikmati gagasan ini lebih daripada seharusnya.
"Mike-schmike," gumamku, terpesona dengan
caranya mengucapkan "kau dan aku". Aku sangar menyukainya dari
seharusnya.
Sekarang kami sudah berada di dekat parkiran. Aku
berbelok ke kiri menuju trukku. Sesuatu menarik jaketku hingga aku tertahan.
"Pikirmu kau mau ke mana?" tanyanya, marah.
Dicengkeramnya jaketku hanya dengan satu tangan. Aku bingung.
"Pulang."
“Apa tadi kau tidak dengar aku berjanji mengantarmu
pulang dengan selamat? Pikirmu aku akan membiarkanmu mengemudi dalam kondisi
seperti ini?" Suaranya masih marah.
"Kondisi apa? Lalu trukku bagaimana?"
keluhku.
"Akan kusuruh Alice mengantarnya sepulang
sekolah nanti." Sekarang ia menarikku ke mobilnya, lebih tepatnya menarik
jaketku. Hanya itu yang bisa kulakukan agar tidak terjengkang ke belakang.
Kalaupun aku jatuh, barangkali ia akan tetap menyeretku.
"Lepaskan!" desakku. Ia mengabaikanku. Aku
berjalan terseret-seret sepanjang jalan yang basah hingga kami sampai di tempat
Volvo Edward diparkir. Lalu akhirnya ia melepaskanku—aku terhuyung ke pintu
penumpang.
"Kau kasar sekali!" gerutuku.
"Sudah terbuka," cuma itu reaksinya. Lalu
ia masuk ke kursi pengemudi.
“Aku sangat mampu menyetir sendiri sampai
rumah!" Aku berdiri di sisi mobil, marah. Hujan turun makin deras, dan aku
tidak mengenakan tudung jaketku, jadi air menetesnetes ke punggungku.
Ia menurunkan jendela otomatisnya dan mencondongkan
tubuhnya ke kursi di seberangnya.
"Masuk, Bella."
Aku tak menjawab. Dalam pikiranku aku
menghitunghitung kesempatanku untuk mencapai trukku sebelum ia bisa
menangkapku. Harus kuakui, tidak mungkin. "Aku tinggal menyeretmu
lagi," ancamnya, seolah bisa menebak apa yang kurencanakan.
Aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga diriku
seraya naik ke mobilnya. Usahaku tidak terlalu berhasil— aku tampak seperti
kucing setengah kuyup dan sepatu botku berdecit-decit.
"Ini benar-benar tidak perlu," kataku. Ia tak
menyahut. Ia menekan tombol kontrol, menyalakan pemanas dan menyetel musik.
Ketika mobilnya meninggalkan parkiran, aku bersiap-siap menerornya dengan
berdiam diri—wajahku sudah cemberut sepenuhnya—tapi lalu aku mengenali musik
yang mengalun itu, dan rasa penasaranku mengalahkan niatku semula.
"Clair de Lune?" tanyaku, terkejut.
"Kau tahu Debussy?" Ia juga terdengar
terkejut. "Tidak terlalu," aku mengakui. "Ibuku suka menyetel
musik klasik di rumah kami—aku hanya tahu yang kusuka."
"Ini juga salah satu favoritku." Ia
memandang menembus hujan, termenung.
Aku mendengarkan musiknya, bersantai di jok kulit abuabu
muda yang kududuki. Mustahil aku tak bereaksi terhadap melodi yang amat kukenal
dan menenangkan ini.
Hujan membuyarkan semua yang ada di luar jendela hingga
menjadi hijau dan kelabu. Aku mulai menyadari mobil melaju cepat sekali; meski
stabil dan tenang sehingga aku tidak merasakan kecepatannya. Hanya kelebatan
kota di sisi kami yang menunjukkan betapa cepatnya kami.
“Ibumu seperti apa?" tiba-tiba ia bertanya.
Aku memandangnya, mengamannya dengan tatapan
penasaran.
"Dia sangat mirip denganku, tapi lebih cantik,"
kataku. Alisnya terangkat, heran.
"Terlalu banyak Charlie dalam diriku Ibuku punya sifat
lebih terbuka, dan lebih berani. Ia tak bertanggung jawab dan sedikit nyentrik,
dan juru masak yang sangat payah. Dia teman baikku." Aku berhenti bicara.
Membicarakan ibuku membuatku sedih.
"Berapa umurmu. Bella?" Suaranya terdengar
frustrasi karena alasan yang tak bisa kubayangkan.
Ia menghentikan mobil, dan aku tersadar kami sudah tiba di
rumah Charlie. Hujan turun sangat deras hingga aku nyaris tak bisa melihat
rumah itu sama sekali. Seolah mobil Edwatd tenggelam di dalam sungai.
"Tujuh belas," jawabku, sedikit bingung.
"Kau tidak kelihatan seperti berumur tujuh belas." Nada suaranya
mencela, membuatku tertawa.
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 25
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 25 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: