Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 24 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan Darah Bab 24
Aku tidak tahu bagaimana ia
membuka pintu sambil menggendongku, tapi tiba-tiba suasananya hangat, jadi aku
tahu kami berada di dalam ruangan.
"Ya ampun," aku mendengar suara perempuan
terkesiap.
"Dia pingsan di kelas Biologi," Edward menjelaskan. Kubuka mataku. Aku berada di kantor TU, dan Edward sedang berjalan melewati konter menuju ruang perawatan. Miss Cope, petugas TU yang berambut merah, berlari mendahului Edward dan membukakan pintu untuknya. Juru rawat keibuan itu seperti di novel-novel, terkagumkagum ketika Edward membawaku ke dalam ruangan dan meletakkanku hati-hati di atas kertas berkeresak yang menutupi kasur tipis dari vinil cokelat. Lalu ia pindah, berdiri rapat di dinding sejauh mungkin di ujung ruangan yang sempit itu.
Matanya memancarkan kegembiraan.
"Dia hanya sedikit lemah," Edward
meyakinkan si perawat yang kebingungan.
"Mereka sedang menggolongkan darah di kelas
Biologi." Juru rawat itu mengangguk penuh pengertian.
"Pasti ada saja yang pingsan." Edward
melontarkan ejekan pelan.
“Berbaring saja sebentar, ya. Sayang; nanti juga
sembuh" “Aku tahu," desahku. Mualnya sudah hilang.
“Apakah ini sering terjadi?" perawat bertanya.
"Kadang-kadang" aku mengakuinya. Edward terbatuk untuk menyamarkan
tawanya lagi.
"Kau boleh kembali ke kelas sekarang," ia
memberitahu Edward.
"Aku disuruh menemaninya." Ia mengatakannya
dengan nada sangat meyakinkan—sehingga meskipun perawat mengerucutkan bibir—ia
tidak membantah.
"Aku akan mengambil kompres untukmu,
Sayang," perawat berkata padaku, lalu bergegas meninggalkan ruangan.
"Kau benar," erangku, membiarkan mataku
terpejam. "Biasanya memang begitu—tapi kali ini dalam hal apa, ya?"
"Membolos adalah sesuatu yang menyehatkan."
Aku mencoba bernapas teratur.
"Tadi kau sempat membuatku takut," akunya
setelah beberapa saat. Nada suaranya membuatnya terdengar seperti sedang
mengakui kelemahan yang memalukan.
"Kupikir Newton sedang menyeret mayatmu untuk
dikubur di hutan."
"Ha ha." Mataku masih terpejam, tapi aku
merasa semakin pulih.
"Sejujurnya—aku pernah melihat mayat dengan
warna
lebih baik. Aku khawatir aku mungkin harus membalas
pembunuhmu."
"Kasihan Mike. Aku berani bertaruh dia pasti
marah." "Dia sangat membenciku," kata Edward senang.
"Kau tak mungkin tahu pasti hal itu." bantahku,
tapi tibatiba aku membayangkan kemungkinan itu.
“Aku lihat wajahnya—aku tahu."
"Bagaimana kau menemukanku? Kupikir kau membolos.” Aku
nyaris pulih sekarang, meski rasa mual ini barangkali bakal hilang lebih cepat
kalau aku makan sesuatu waktu makan siang.
Tapi kalau dipikir- pikir, barangkali ada untungnya perutku
kosong.
"Aku sedang di mobil, mendengarkan CD." Jawaban
yang masuk akal—tapi mengejutkanku.
Aku mendengar suara pintu terbuka, lalu membuka mata
Perawat datang membawa kompres dingin.
"Ini dia, Sayang." Ia meletakkannya di
dahiku. "Kau ke lihatan lebih baik." tambahnya.
"Kurasa aku baik-baik saja," kataku sambil
bangkit duduk Telingaku masih berdenging sedikit, tapi aku tak lagi pusing
Dinding berwarna hijau mint di sekelilingku tidak berputar. putar lagi.
Aku tahu ia akan menyuruhku berbaring lagi, tapi
kemudian pintunya terbuka, dan Miss Cope menjulurkan kepala ke dalam.
"Kita punya korban lagi," katanya.
Aku melompat turun supaya pasien berikutnya bisa
menempati tempat tidur itu.
Kuserahkan kompresnya kepada perawat. "Ini, aku
tidak memerlukannya."
Lalu Mike berjalan terhuyung-huyung melewati pintu,
ia memapah Lee Stephens, temanku dari kelas Biologi, yang tampak pucat. Edward
dan aku merapat ke dinding supaya mereka bisa lewat.
"Oh tidak," gumam Edward. "Keluar dari
sini. Bella." Aku menatapnya, keheranan.
"Percayalah—ayo keluar."
Aku berputar dan menangkap pintu sebelum tertutup
lagi. bergegas keluar dari ruang perawatan. Bisa kurasakan Edward tepat di
belakangku.
“Kau benar-benar menuruti perkataanku." Ia
terperangah.
"Aku mencium bau darah," kataku,
mengerutkan hidung.
Lee tidak sakit karena menyaksikan yang dilakukan
orang lain, seperti aku.
"Manusia tidak bisa mencium darah,” bantahnya.
"Well aku bisa—itulah yang
membuatku sakit. Baunya seperti karat... dan garam." Edward menatapku
dalam-dalam. “Apa?" tanyaku.
"Bukan apa-apa."
Lalu Mike melangkah terhuyung-huyung melewati pintu,
menatapku dan Edward bergantian. Tatapan yang dilontarkannya pada Edward
memastikan kebenciannya.
Mike ganti menatapku, matanya kelam.
"Kau kelihatan lebih baik," tuduhnya.
"Jangan ikut campur," aku mengingatkannya.
"Sudah tidak ada darah lagi," gumamnya. "Apa kau akan kembali ke
kelas?"
"Kau bercanda? Aku pasti harus diangkut kemari
lagi." "Yeah, kurasa begitu... Jadi kau ikut akhir pekan ini? Ke
pantai?" Sambil bicara Mike melirik Edward yang bersandar di konter yang
berantakan, tak bergerak bagai patung tatapannya kosong.
Aku berusaha terdengar seramah mungkin. "Tentu
saja, kan sudah kubilang aku akan ikut."
“Kita berkumpul di toko ayahku jam sepuluh."
Matanya berkilat-kilat menatap Edward, bertanya-tanya apakah ia telah berbicara
terlalu banyak. Bahasa tubuhnya cukup menjelaskan bahwa undangan itu tak
berlaku untuk Edward.
“Aku akan datang" aku berjanji.
“Kalau begitu, sampai ketemu di gimnasium," kata
Mike berjalan gontai ke pintu.
“Daaahh," balasku. Ia menatapku sekali lagi,
wajahnya yang bulat cemberut sedikit, kemudian ketika ia berjalan melewati
lewati pintu, bahunya merosot. Perasaan simpati menyeruak dalam diriku. Aku
membayangkan melihat wajahnya yang kecewa lagi... di gimnasium.
"Gimnasium." erangku.
"Aku bisa mengaturnya." Aku tidak
memerhatikan Edward pindah ke sisiku, tapi suaranya terdengar jelas sekarang.
"Duduklah dan perlihatkan wajah pucatmu," gumamnya.
Itu sama sekali bukan tantangan, wajahku memang
selalu pucat, dan pingsan yang baru saja kualami menyisakan selapis keringat di
wajahku.
Aku duduk di kursi lipat yang berderik dan
menyandarkan kepalaku di dinding mata terpejam. Mantra pingsan selalu membuatku
lemas. Aku mendengar Edward berbicara pelan pada seseorang di konter.
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 24
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 24 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir
kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: