Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 22 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan
Darah Bab 22
Wajahku merona. Selama sebulan terakhir ini, aku
sendiri bimbang antara Bruce Wayne dan Peter Parker. Jadi tidak mungkin aku
mengungkapkannya.
"Maukah kau memberitahuku?" pintanya,
memiringkan kepala ke satu sisi dengan senyuman menggoda yang tak
disangka-sangka.
Aku menggeleng. "Terlalu memalukan." Itu
sangat memusingkan, kau tahu," keluhnya.
"Tidak," aku langsung membantah, mataku
menyipit. “Aku tak bisa membayangkan kenapa itu harus memusingkan—hanya karena
seseorang menolak menceritakan apa yang mereka pikirkan, meskipun mereka
terus-menerus melontarkan komentar misterius untuk membuatmu terjaga semalaman
dan memikirkan apa sebenarnya maksudnya... nah, kenapa itu memusingkan?"
Ia nyengir.
"Atau lebih baik," lanjutku, semua pikiran mengganggu yang terpendam selama ini akhirnya bisa kukeluarkan dengan bebas,
"katakan saja orang itu juga melakukan halhal aneh—mulai dari
menyelamatkan nyawamu dari keadaan mustahil pada suatu hari, sampai
memperlakukanmu seperti orang asing keesokan harinya, dan ia tak pernah
menjelaskan apa-apa, bahkan setelah berjanji akan melakukannya. Itu, juga, akan
sangat tidak memusingkan."
"Kau marah, ya?"
"Aku tidak suka bertele-tele."
Kami bertatapan, tanpa tersenyum. Ia memandang lewat
bahuku, lalu tanpa diduga mencemooh. "Apa?"
"Pacarmu sepertinya mengira aku bersikap tidak sopan
padamu—dia sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pertengkaran kita atau
tidak." Ia mencemooh lagi.
"Aku tak tahu apa maksudmu," kataku dingin.
"Lagi pula, aku yakin kau salah."
"Tidak. Aku pernah bilang kebanyakan orang mudah
ditebak."
"Kecuali aku, tentu saja."
“Ya, kecuali kau." Tiba-tiba suasana hatinya
berubah; tatapannya muram. "Aku bertanya-tanya kenapa bisa begitu."
Aku harus berpaling dari tatapannya. Aku
berkonsentrasi untuk membuka tutup botol limunku. Aku meneguknya sekali, sambil
menatap meja tanpa benar-benar melihatnya.
“Apa kau tidak lapar?" tanyanya, pikirannya
teralih. “Tidak." Rasanya aku tak ingin memberitahunya perutku sudah
kenyang—dengan ketegangan. "Kau?" Kutatap meja yang kosong di
depannya.
"Tidak, aku tidak lapar." Aku tak mengerti
raut wajahnya— sepertinya ia merasa lucu dengan ucapannya sendiri.
"Boleh minta tolong?" pintaku setelah
beberapa saat merasa ragu.
Sekonyong-konyong ia seperti berhati-hati.
"Tergantung apa yang kauinginkan."
"Tidak susah kok," aku meyakinkannya.
Ia menunggu, waswas namun penasaran.
"Aku hanya bertanya-tanya... kalau-kalau lain kali kau mau mengingatkanku sebelum memutuskan mengabaikanku, demi kebaikanku sendiri. Jadi aku bisa siap-siap." Aku memandangi botol limunku ketika mengatakannya, mengitari lingkaran tutupnya dengan kelingkingku.
"Kedengarannya adil." Ia merapatkan
bibirnya supaya tidak tertawa ketika aku memandangnya lagi.
"Terima kasih."
"Lalu apa aku juga boleh minta satu jawaban
sebagai gantinya?" pintanya.
"Satu."
“Ceritakan padaku satu teori."
Uuppss. "Jangan yang itu."
"Kau tidak memberi syarat, kau hanya bilang satu
jawaban,” ia mengingatkan aku.
"Kau sendiri selalu ingkar janji." aku
balas mengingatkan. Hanya satu teori—aku takkan tertawa. "Pasti kau bakal
tertawa." Aku yakin mengenai yang saru ini.
Ia menunduk, lalu memandangku dari balik bulu matanya
yang lentik, matanya yang kekuningan tampak membara.
"Please?"
ia menghela napas, mencondongkan tubuhnya ke arahku.
Aku mengerjap, pikiranku kosong. Sialan, bagaimana ia
melakukannya?
"Mmm, apa?" tanyaku bingung.
"Ceritakan satu teori, sedikit saja."
Matanya yang berkilat-kilat masih menatapku.
"Ehh, Well,
digigit laba-laba yang mengandung radioaktif?" Apakah ia bisa menghipnotis
juga? Atau aku hanya penurut yang tak berdaya?
"Itu sih tidak kreatif?” ejeknya.
"Maaf, cuma itu yang kupunya," tukasku
kesal.
"Kau benar-benar jauh dari kebenaran,"
godanya.
"Tidak ada laba-laba?"
"Tidak ada."
"Dan tidak ada radioaktif?"
"Tidak."
"Sial," keluhku.
"Aku juga tidak terkena batu kryptonite"
sahutnya sambil tertawa.
"Kau kan tidak boleh tertawa, ingat?" Ia
berusaha mengendalikan diri.
"Nanti juga aku tahu," kataku mengingatkan.
"Kuharap kau tidak mencobanya." Ia berubah
serius lagi.
"Karena...?"
"Bagaimana kalau aku bukan superhero? Bagaimana
kalau aku orang jahat?" Ia tersenyum menggodaku, tapi aku tak mengerti
maksud di balik tatapannya.
"Oh." kataku, ketika beberapa potongan ucapannya yang misterius tiba-tiba terasa masuk akal.
"Aku mengerti."
"Benarkah?" Wajahnya langsung menegang seolah-olah ia khawatir telah tidak sengaja bicara terlalu banyak.
"Kau berbahaya?" aku menebak,
denyut nadiku lebih cepat ketika dengan sendirinya aku menyadari kebenaran
kata-kataku sendiri. Ia memang berbahaya. Ia telah mencoba memberitahuku selama
ini.
Ia hanya memandangku, tatapannya sarat emosi. Aku
tidak mengerti.
"Tapi tidak jahat," bisikku, sambil
menggeleng. "Tidak, aku tidak percaya kau jahat."
"Kau salah." Suaranya nyaris tak terdengar.
Ia
menunduk, lalu mengambil tutup botol, dan
memutarmutarnya
di antara jemarinya. Aku menatapnya, membayangkan
kenapa aku tidak merasa takut. Ia sungguhsungguh
dengan ucapannya—itu jelas. Tapi aku hanya merasa
khawatir, tidak nyaman... dan, lebih dari segalanya, terpesona. Perasaan sama
yang selalu kurasakan ketika berada di dekatnya.
Keheningan berlanjut hingga aku tersadar kafetaria
sudah hampir kosong.
Aku melompat kaget. "Kita bakal terlambat."
“Aku tidak ikut pelajaran hari ini," katanya, memutar tutup botol begitu
cepat hingga tampak kabur.
"Kenapa tidak?"
“Membolos itu menyehatkan." Ia tersenyum padaku,
tapi matanya masih waswas.
“Well, aku
masuk," kataku. Aku kelewat pengecut mengenai risiko ketahuan guru.
Ia mengalihkan perhatiannya lagi ke tutup botol bekasnya. Kalau begitu, sampai ketemu lagi".
Aku ragu-ragu, bingung, tapi kemudian bunyi bell pertama membuatku bergegas menuju pintu keluar—sambil menatap untuk terakhir kali, memastikan ia tak bergeser dari posisinya.
Ketika aku setengah berlari menuju kelas, kepalaku
berputar lebih kencang daripada tutup botol tadi. Hanya sedikit sekak
pertanyaan yang telah terjawab, mengingat banyaknya pertanyaan yang muncul.
Setidaknya hujan telah reda.
Aku beruntung; Mr. Banner belum tiba di kelas ketika
aku sampai. Aku bergegas duduk di kursiku, sadar Mike dan Angela menatapku.
Mike tampak kesal; Angela kelihatan terkejut, dan sedikit kagum.
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 22
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 22 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: