Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 21 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Golongan Darah Bab 21
5. GOLONGAN DARAH
AKU berjalan menuju kelas bahasa Inggris dengan
setengah melamun. Aku bahkan tidak menyadari ketika aku sampai, pelajaran sudah
dimulai.
"Terima kasih sudah datang, Miss Swan,"
sindir Mr.
Mason.
Wajahku merah padam dan aku bergegas ke tempat
dudukku.
Ketika pelajaran berakhir, barulah aku menyadari Mike tidak
duduk di sebelahku seperti biasa. Aku merasakan cubitan rasa bersalah. Tapi ia
dan Eric menungguku di pintu seperti biasa, jadi aku menyimpulkan mereka sudah
sedikit memaafkanku.
Mike sudah lebih cerewet ketika kami berjalan, dan semakin
bersemangat ketika membicarakan prakiraan cuaca untuk akhir pekan ini. Hujan
diperkirakan akan berhenti sebentar, dan itu berarti berita baik untuk
rencananya jalan-jalan ke pantai. Aku berusaha terdengar bersemangat, sebagai
ganti karena telah membuatnya kecewa kemarin. Tetap saja hujan atau tidak
hujan, suhunya paling-paling sekitar 4ºC kalau kami beruntung.
Sisa pagi itu berlangsung samar-samar. Sulit dipercaya
bahwa aku tidak hanya mengkhayalkan perkataan Edward, dan sorot matanya.
Barangkali itu hanya mimpi yang sangat nyata hingga sulit membedakannya dengan
kenyataan sebenarnya.
Kelihatannya itu lebih mungkin. Jadi aku merasa tidak sabar
dan sekaligus ngeri ketika Jessica dan aku memasuki kafetaria. Aku ingin
melihat wajahnya, aku ingin tahu apakah ia telah berubah dingin dan tidak
peduli lagi, seperti yang kulihat beberapa minggu terakhir ini.
Atau barangkali, berkat sebuah keajaiban, aku benar-benar
mendengar yang kudengar tadi pagi. Jessica terus berceloteh tentang rencananya
di pesta dansa—Lauren dan Angela sudah mengajak Eric dan Tyler dan mereka akan
pergi bersama-sama. Ia benar-benar tidak menyadari sikapku yang tak menyimak.
Kekecewaan menyergapku ketika pandanganku tertuju ke
mejanya. Keempat saudaranya ada di sana, tapi ia tidak ada. Apakah ia pulang?
Aku antre di belakang Jessica yang masih terus mencerocos. Hatiku hancur.
Selera makan siangku lenyap—aku hanya membeli sebotol limun. Aku cuma ingin
duduk dan mengasihani diriku.
"Edward Cullen sedang memandangimu lagi," kata Jessica, akhirnya membuyarkan lamunanku.
"Aku kepingin tahu kenapa ya dia duduk sendirian hari ini." Kuangkat kepalaku cepat-cepat.
Aku
mengikuti tatapan Jessica dan menemukan Edward, tersenyum lebar, menatapku dari
meja kosong di seberang kafetaria tepat dari tempat ia biasanya duduk.
Begitu kami beradu pandang, ia mengangkat tangan dan
menggerakkan telunjuknya padaku, mengajaki bergabung dengannya. Ketika aku
menatapnya tidak percaya, ia mengedipkan mata.
"Apakah maksudnya kau?" Jessica bertanya, suaranya terkejut.
"Mungkin dia butuh bantuan untuk mengerjakan PR
Biologi." gumamku menenangkannya. "Mmm, sebaiknya aku cari tahu apa
yang diinginkannya."
Aku merasakan tatapan Jessica ketika pergi
menghampiri Edward.
Setibanya di meja cowok itu, aku berdiri di belakang
kursi di seberangnya, ragu-ragu.
"Duduklah bersamaku hari ini," pintanya
sambil tersenyum.
Aku duduk, hati-hati mengawasinya. Ia masih
tersenyum. Sulit dipercaya seseorang setampan ini begitu nyata. Aku khawatir ia
bisa menghilang tiba-tiba di balik asap, lalu aku terbangun dari mimpi.
Ia sepertinya menungguku mengatakan sesuatu.
"Ini tidak seperti biasanya," akhirnya aku
berkata.
"Well."
ia berhenti, lalu sisanya terurai begitu saja. "Kuputuskan mengingat aku
toh bakal pergi ke neraka, lebih baik kulakukan saja semuanya sekalian."
Aku menunggu ia mengatakan sesuatu yang masuk akal.
Waktu pun berlalu.
"Tahu nggak, aku sama sekali tidak mengerti apa
maksudmu," akhirnya aku mengaku.
"Aku tahu." Ia tersenyum lagi. lalu
mengubah topik. "Kurasa teman-temanmu marah padaku karena telah
menculikmu."
"Mereka akan baik-baik saja." Bisa
kurasakan mereka mulai bosan menatapku.
"Aku mungkin saja takkan mengembalikanmu,"
katanya sambil mengedip jail.
Aku menelan ludah.
Ia tertawa. "Kau tampak khawatir."
"Tidak," kataku, tapi konyolnya suaraku
gemetar. "Sebenarnya aku terkejut... apa yang menyebabkan ini semua?"
"Sudah kubuang—aku capek berusaha menjauh
darimu. Jadi aku menyerah." Ia masih tersenyum, tapi matanya yang
kekuningan tampak serius.
"Menyerah?" ulangku bingung.
"Ya—menyerah berusaha bersikap baik. Sekarang
aku hanya akan melakukan apa yang kuinginkan, dan membiarkan semuanya terjadi
sebagaimana mestinya." Senyumnya memudar ketika ia menjelaskan, dan
suaranya terdengar serius.
"Lagi-lagi kau membuatku bingung." Senyum menawan itu muncul lagi.
"Aku selalu berkata terlalu banyak kalau bicara denganmu—itu salah satu masalahnya."
"Jangan khawatir—aku tak
mengerti satu pun ucapanmu," sindirku. "Aku mengandalkan itu."
"Jadi, terus terang, apakah sekarang kita
berteman?" "Teman...," sahutnya menerawang, ragu-ragu.
"Atau tidak," gumamku.
Ia nyengir. "Well,
kurasa kita bisa mencobanya. Tapi kuperingatkan kau, aku bukan teman yang baik
untukmu." Di balik senyumnya peringatan itu tampak sangat nyata.
"Kau sering bilang begitu," aku
mengingatkannya, berusaha mengabaikan perutku yang tiba-tiba bergejolak, dan
menjaga suaraku tetap tenang.
"Ya, karena kau tidak mendengarkan. Aku masih
menunggu memercayainya. Kalau pintar, kau akan menghindariku."
"Kurasa penilaianmu atas intelektualitasku cukup
jelas." Mataku menyipit.
Ia tersenyum menyesal.
"Jadi, selama aku adalah... orang yang tidak
pintar, kita akan mencoba berteman?" aku berjuang menyimpulkan pembicaraan
yang membingungkan ini.
"Kedengarannya masuk akal."
Aku menunduk memandang tanganku yang memegangi botol
limun, tak yakin apa yang harus kulakukan.
"Apa yang kaupikirkan?" tanyanya penasaran.
Aku memandang matanya yang keemasan, bingung dan seperti biasa mengatakan yang
sejujurnya.
"Aku mencoba menebak siapa sebenarnya kau
ini." Rahangnya menegang, tapi ia tetap berusaha tersenyum.
"Apa kau berhasil?" ia bertanya dengan nada
tak acuh.
"Tidak terlalu," akuku.
Ia tertawa. "Apa teorimu?"
Penutup Novel Twilight –
Golongan Darah Bab 21
Gimana Novel twilight – Golongan Darah Bab 21 ? keren kan ceritanya.
Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan
khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik
tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: