Monday, January 17, 2022

Bab 2 Novel Twilight - Pandangan Pertama - Baca Di SIni

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 2 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight –Pandangan Pertama Bab 2

"Kau tak perlu melakukannya, Dad. Aku berencana membeli sendiri mobilku."

"Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini." Ia memandang lurus ke jalan saat mengatakannya. Charlie merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya. Aku mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus ke depan ketika menjawab.

Bab 1 Novel Twilight


"Asyik, Dad. Trims. Aku sangat menghargainya." Tak perlu kutambahkan bahwa aku tak mungkin bahagia di Forks. Dad tidak perlu ikut menderita bersamaku. Dan aku tak pernah meminta truk gratis—atau mesin. "Well. sama-sama kalau begitu," gumamnya, tersipu oleh ucapan terima kasihku.

Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan itulah sebagian besar topik percakapan kami. Selebihnya kami memandang ke luar jendela dalam diam. Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau: pepohonan dengan batangbatang

tertutup lumut, kanopi di antara cabang-cabangnya, tanahnya tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring di antara dedaunannya yang hijau. Terlalu hijau—sebuah planet yang asing. Akhirnya kami tiba di rumah Charlie. Ia masih tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka miliki—masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak pernah berubah, tampak truk baruku—Well, baru buatku. Truk itu berwarna merah kusam, dengan bemper dan kap yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat terkejut, aku menyukainya. Aku tak tahu apakah benda itu bisa jalan, tapi bisa kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat kokoh yang tidak bakal rusak—jenis yang bakal kautemukan di lokasi kecelakaan dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya.

"Wow, Dad, aku suka! Trims!" Sekarang hari-hari menakutkan yang akan menjelang takkan menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan dua mil ke sekolah hujan-hujan ataukah menumpang mobil patroli polisi.

"Aku senang kau menyukainya," kata Charlie parau, sekali lagi merasa malu.

Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barangbarangku ke atas. Aku mendapat kamar tidur di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier, itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah, langit-langit lancip, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian masa kecilku. Satu-satunya pembahan yang dibuat Charlie adalah mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem tersambung pada kabel telepon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. Kursi goyang dari masa bayiku masih ada di sudut.

Hanya ada satu kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku harus memakainya dengan Charlie. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan keadaan itu.

Salah satu hal terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tak mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela, memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi.

Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid, yaitu 357—sekarang 358; sementara murid SMP di tempat asalku dulu ada lebih dari tujuh ratus orang. Semua murid di sini tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka menghabiskan masa kecil bersama. Aku akan jadi anak perempuan baru dari kota besar, mengundang penasaran, orang aneh.

Barangkali takkan begitu jadinya bila aku berpenampilan seperti layaknya anak perempuan dari Phoenix. Tapi secara fisik aku tak pernah cocok berada di mana pun. Aku harus berkulit cokelat, sporty, pirang—pemain voli, atau pemandu sorak mungkin—segala sesuatu yang cocok dengan kehidupan di lembah matahari.

Sebaliknya aku malah berkulit kekuningan, bahkan tanpa mata biru atau rambut merah, meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing tapi lembek, jelas bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk berolahraga tanpa mempermalukan diri sendiri—dan melukai diriku serta siapa pun di dekatku.

Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas keperluan mandiku dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening nyaris transparan— tapi semua itu tergantung warna. Di sini aku tidak memiliki warna.

Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang membohongi diri sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau aku tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus orang kesempatan apa yang kupunya di sini? Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang terdekat denganku dibandingkan siapa pun di dunia ini, tak pernah selaras denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadangkadang aku membayangkan apakah aku melihat hal yang

sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin ada masalah dengan otakku.

Tapi penyebabnya tidak penting. Yang penting adalah akibatnya. Dan esok baru permulaannya.

Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku selesai menangis. Hujan terus menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku menarik selimut tua itu menutupi kepala, kemudian menambahkan bantalbantal.

Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.

Paginya hanya kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela kamarku, dan bisa kurasakan klaustrofobia merayapi tubuhku. Di sini kau tak pernah bisa melihat langit, seperti di kandang.

Sarapan bersama Charlie berlangsung hening. Ia mendoakan supaya aku berhasil di sekolah. Aku berterima kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan selalu menjauhiku. Charlie berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi istri dan keluarganya. Setelah ia pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua itu, di salah satu dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya, dengan dinding panelnya yang gelap, rak-rak kuning terang serta lantai linoleumnya yang putih. Tak ada yang berubah. Delapan belas tahun yang lalu ibuku mengecat rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit kecerahan di rumah. Di atas perapian bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak berderet foto-foto. Yang pertama foto pernikahan Charlie dan ibuku di Las Vegas, kemudian foto kami di rumah sakit setelah aku lahir yang diambil oleh seorang perawat, diikuti rangkaian fotoku semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu melihatnya— aku harus mencari cara supaya Charlie mau memindahkannya ke tempat lain. setidaknya selama aku tinggal di sini.

Rasanya mustahil berada di rumah ini, dan tidak menyadari bahwa Charlie belum bisa melupakan ibuku. Itu membuatku tidak nyaman.

Aku tak mau terburu-buru ke sekolah, tapi aku tak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi. Aku mengenakan jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos hujan.

Penutup Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 2

Gimana Novel twilight – Pandangan Pertama Bab 2 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: