Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini Stepheni
Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa
manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan,
perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel
Twilight Bab 2 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi
hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Pandangan Pertama
Bab 2
"Kau tak
perlu melakukannya, Dad. Aku berencana membeli sendiri mobilku."
"Aku tidak
keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini." Ia memandang lurus ke jalan
saat mengatakannya. Charlie merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya. Aku
mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus ke depan ketika menjawab.
"Asyik, Dad.
Trims. Aku sangat menghargainya." Tak perlu kutambahkan bahwa aku tak
mungkin bahagia di Forks. Dad tidak perlu ikut menderita bersamaku. Dan aku tak
pernah meminta truk gratis—atau mesin. "Well. sama-sama kalau
begitu," gumamnya, tersipu oleh ucapan terima kasihku.
Kami masih bicara
tentang cuaca yang lembab, dan itulah sebagian besar topik percakapan kami.
Selebihnya kami memandang ke luar jendela dalam diam. Tentu saja pemandangannya
indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau: pepohonan dengan batangbatang
tertutup lumut,
kanopi di antara cabang-cabangnya, tanahnya tertutup daun yang berguguran.
Bahkan udaranya tersaring di antara dedaunannya yang hijau. Terlalu
hijau—sebuah planet yang asing. Akhirnya kami tiba di rumah Charlie. Ia masih
tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama ibuku
pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka
miliki—masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak
pernah berubah, tampak truk baruku—Well, baru buatku. Truk itu berwarna merah
kusam, dengan bemper dan kap yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat
terkejut, aku menyukainya. Aku tak tahu apakah benda itu bisa jalan, tapi bisa
kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis
sangat kokoh yang tidak bakal rusak—jenis yang bakal kautemukan di lokasi
kecelakaan dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah
dihantamnya.
"Wow, Dad,
aku suka! Trims!" Sekarang hari-hari menakutkan yang akan menjelang takkan
menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan dua mil ke sekolah
hujan-hujan ataukah menumpang mobil patroli polisi.
"Aku senang
kau menyukainya," kata Charlie parau, sekali lagi merasa malu.
Cuma butuh sekali
angkut untuk membawa barangbarangku ke atas. Aku mendapat kamar tidur di
sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat familier, itu
kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah, langit-langit
lancip, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela—semua ini bagian masa
kecilku. Satu-satunya pembahan yang dibuat Charlie adalah mengganti tempat
tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja seiring
pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem tersambung
pada kabel telepon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan telepon
terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. Kursi goyang
dari masa bayiku masih ada di sudut.
Hanya ada satu
kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku harus memakainya dengan Charlie. Aku
berusaha tidak terlalu memikirkan keadaan itu.
Salah satu hal
terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak pernah membuntutiku. Ia meninggalkanku
sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang tak mungkin
kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak harus
tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela,
memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang
mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur
nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi.
Total SMA Forks
hanya memiliki sangat sedikit murid, yaitu 357—sekarang 358; sementara murid
SMP di tempat asalku dulu ada lebih dari tujuh ratus orang. Semua murid di sini
tumbuh bersama-sama—kakek-nenek mereka menghabiskan masa kecil bersama. Aku
akan jadi anak perempuan baru dari kota besar, mengundang penasaran, orang
aneh.
Barangkali takkan
begitu jadinya bila aku berpenampilan seperti layaknya anak perempuan dari
Phoenix. Tapi secara fisik aku tak pernah cocok berada di mana pun. Aku harus
berkulit cokelat, sporty, pirang—pemain voli, atau pemandu sorak mungkin—segala
sesuatu yang cocok dengan kehidupan di lembah matahari.
Sebaliknya aku
malah berkulit kekuningan, bahkan tanpa mata biru atau rambut merah, meskipun
sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing tapi lembek, jelas
bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi antara tangan dan mata untuk
berolahraga tanpa mempermalukan diri sendiri—dan melukai diriku serta siapa pun
di dekatku.
Ketika aku
selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku mengambil tas
keperluan mandiku dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri setelah
perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir rambutku
yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat pucat, tidak
sehat. Kulitku bisa saja cantik—bening nyaris transparan— tapi semua itu
tergantung warna. Di sini aku tidak memiliki warna.
Memandang
pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang membohongi diri
sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau aku tak bisa
menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus orang kesempatan apa yang
kupunya di sini? Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali
sebenarnya hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku,
orang terdekat denganku dibandingkan siapa pun di dunia ini, tak pernah selaras
denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadangkadang aku membayangkan apakah
aku melihat hal yang
sama seperti yang
dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin ada masalah dengan otakku.
Tapi penyebabnya
tidak penting. Yang penting adalah akibatnya. Dan esok baru permulaannya.
Tidurku gelisah
malam itu, bahkan setelah aku selesai menangis. Hujan terus menderu dan angin
yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku menarik selimut tua itu
menutupi kepala, kemudian menambahkan bantalbantal.
Tapi lepas tengah
malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah jadi gerimis.
Paginya hanya
kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela kamarku, dan bisa kurasakan
klaustrofobia merayapi tubuhku. Di sini kau tak pernah bisa melihat langit,
seperti di kandang.
Sarapan bersama
Charlie berlangsung hening. Ia mendoakan supaya aku berhasil di sekolah. Aku berterima
kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan selalu menjauhiku.
Charlie berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi istri dan
keluarganya. Setelah ia pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua itu, di
salah satu dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya, dengan
dinding panelnya yang gelap, rak-rak kuning terang serta lantai linoleumnya
yang putih. Tak ada yang berubah. Delapan belas tahun yang lalu ibuku mengecat
rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit kecerahan di rumah. Di atas
perapian bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak berderet
foto-foto. Yang pertama foto pernikahan Charlie dan ibuku di Las Vegas,
kemudian foto kami di rumah sakit setelah aku lahir yang diambil oleh seorang
perawat, diikuti rangkaian fotoku semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu
melihatnya— aku harus mencari cara supaya Charlie mau memindahkannya ke tempat
lain. setidaknya selama aku tinggal di sini.
Rasanya mustahil
berada di rumah ini, dan tidak menyadari bahwa Charlie belum bisa melupakan
ibuku. Itu membuatku tidak nyaman.
Aku tak mau
terburu-buru ke sekolah, tapi aku tak bisa tinggal di rumah lebih lama lagi.
Aku mengenakan jaketku— yang rasanya seperti pakaian antiradiasi—dan menerobos
hujan.
Penutup Novel Twilight –
Pandangan Pertama Bab 2
Gimana Novel
twilight – Pandangan Pertama Bab 2 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu
penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah
menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: