Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 16 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Undangan Bab 17
4. UNDANGAN
DALAM mimpiku sangat gelap, dan cahaya samarsamar di sana sepertinya terpancar dari kulit Edward. Aku tak bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya ketika ia menjauh dariku, meninggalkanku dalam kegelapan. Tak peduli betapa cepat aku berlari, aku tak bisa mengejarnya; tak peduli betapa keras aku memanggil, ia tak pernah berbalik.
Karena ketakutan, aku terbangun di
tengah malam dan tak bisa tidur lagi untuk waktu yang sepertinya lama sekali.
Setelah itu ia nyaris selalu ada dalam mimpiku setiap malam, tapi selalu
bayangan yang rak pernah bisa kujangkau.
Selama sebulan setelah kecelakaan itu segalanya
terasa tidak nyaman, menegangkan, dan pada awalnya memalukan.
Yang membuatku cemas, aku mendapati diriku menjadi
pusat perhatian selama sisa minggu itu. Tyler Crowley selalu mengikuti ke mana
pun aku pergi, terobsesi ingin memperbaiki segalanya, entah dengan cara apa.
Aku mencoba meyakinkannya bahwa yang kuinginkan melebihi segalanya adalah agar
ia melupakan kejadian itu—terutama karena aku baik-baik saja—tapi ia tetap
berkeras. Ia mengikuti dan duduk bersamaku di meja makan siang yang sekarang
penuh orang. Mike dan Eric bahkan tak kalah sebal padanya ketimbang yang mereka
rasakan satu sama lain. Dan aku jadi khawatir telah mengundang penggemar yang
tidak kuinginkan.
Tak seorang pun sepertinya peduli tentang Edward, meskipun aku terus-menerus menceritakan bahwa dialah sang pahlawan—bagaimana ia menarikku dan nyaris saja ikut terlindas.
Aku berusaha terdengar meyakinkan. Jessica, Mike, Eric, dan orang-orang lain selalu berkomentar bahwa mereka bahkan tidak melihatnya sampai van itu ditarik. Aku bertanya-tanya mengapa tak seorang pun melihatnya berdiri jauh dariku, sebelum ia tiba-tiba, dengan tidak mungkinnya, menyelamatkan hidupku.
Merasa kecewa, aku menyadari alasan yang masuk akal—tak seorang pun menyadari
keberadaan Edward seperti aku. Tak seorang pun memerhatikannya seperti aku.
Betapa menyedihkan.
Edward tak pernah dikelilingi orang-orang yang
penasaran ingin mendengar cerita itu dari sudut pandangnya. Orang-orang
menghindarinya seperti biasa. Keluarga Cullen dan Hale duduk di meja yang sama
seperti biasa, tidak makan, hanya mengobrol sendiri. Tak saru pun dari mereka,
terutama Edward, memandang ke arahku lagi.
Ketika ia duduk di sebelahku di kelas, dan sejauh
mungkin, sepertinya ia sama sekali tak menyadari kehadiranku. Hanya
kadang-kadang ketika tangannya tahutahu
mengepal—kulitnya meregang bahkan lebih putih dari
tulangnya—aku berpikir ia tidak secuek penampilannya. Ia berharap tak pernah
menarikku dari depan mobil
Tyler—rak ada kesimpulan lain yang bisa kutarik selain itu.
Aku sangat ingin bicara dengannya, dan aku sudah berusaha melakukannya sehari
setelah kecelakaan. Terakhir kali aku bertemu dengannya, di luar ruang UGD,
kami berdua begitu marah. Aku masih marah karena ia tak mau mengatakan yang
sebenarnya padaku, meskipun aku tidak akan memberitahu siapa pun. Tapi nyatanya
ia toh telah menyelamatkan nyawaku, entah bagaimana caranya. Dan dalam sekejap
kemarahanku berganti jadi rasa syukur yang mengagumkan.
Ia sudah duduk ketika aku sampai di kelas Biologi,
tanpa melirik kanan-kiri. Aku duduk, berharap ia akan berpaling ke arahku. Ia
tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia menyadari aku ada di sana.
"Halo, Edward," sapaku ramah, mencoba
terlihat sopan. Ia menoleh sedikit tanpa memandang mataku, mengangguk sekali,
lalu berpaling lagi.
Dan itulah kontak terakhirku dengannya, meskipun ia ada di sana, sejengkal dariku, setiap hari. Kadang-kadang aku memerhatikannya, tak sanggup menahan diriku— meskipun hanya dari jauh, di kafetaria atau parkiran.
Kuperhatikan matanya yang keemasan semakin hari semakin gelap. Tapi di kelas aku seolah tak memedulikannya, seperti ia juga tak memedulikanku. Aku benar-benar merana. Dan mimpi-mimpiku berlanjut. Meskipun aku berlagak tak peduli, emosi yang terpancar dalam e-mail-e-mail-ku membuat Renee menyadari keadaanku yang tertekan.
Ia menelepon beberapa kali, mengkhawatirkan aku. Aku berusaha meyakinkannya, bahwa cuacalah yang membuatku sedih. Setidaknya Mike senang melihat kebisuan antara aku dan pasangan lab-ku. Bisa kulihat ia khawatir aksi penyelamatan Edward yang gagah berani bisa saja membuatku terkesan, dan Mike lega menyadari yang terjadi justru kebalikannya.
Ia makin
percaya diri, duduk di ujung mejaku sebelum pelajaran Biologi dimulai,
mengabaikan Edward, seperti ia mengabaikan kami semua. Salju benar-benar lenyap
setelah hari bersalju yang berbahaya itu. Mike kecewa tak bisa main
perang-perangan salju lagi, tapi senang perjalanan ke pantai akan segera
terwujud. Meski begitu hujan terus-menerus turun dan minggu demi minggu pun
berlalu.
Jessica membuatku menyadari satu
masalah lagi—ia menelepon hari Selasa pertama bulan Maret untuk meminta izin
mengajak Mike ke pesta dansa musim semi dua minggu lagi.
"Kau yakin tidak keberatan... kau tak ingin
mengajaknya?" ia mendesak terus ketika aku mengatakan sama sekali tidak
keberatan.
"Tidak, Jess, aku tak akan pergi," aku
meyakinkannya.
Berdansa sudah jelas di luar kemampuanku.
"Bakal asyik banget
lho." Usahanya membujukku benarbenar setengah hati. Aku curiga Jessica
lebih menikmati popularitasku yang tidak biasa dan bukannya kehadiranku yang
sesungguhnya.
"Bersenang-senanglah dengan Mike," aku
mendukungnya.
Keesokan harinya aku terkejut Jessica tidak cerewet seperti biasa di kelas Trigono dan Spanyol. Ia diam saja ketika berjalan di sebelahku menuju kelas, dan aku takut menanyakan alasannya. Kalau Mike menolak ajakannya, pasti akulah orang terakhir yang ingin diberitahunya.
Kekhawatiranku semakin
menguat saat makan siang ketika Jessica duduk sejauh mungkin dari Mike,
berbincang sangat akrab dengan Eric. Mike juga diam, tidak seperti biasa.
Penutup Novel Twilight –
Undangan Bab 17
Gimana Novel twilight – Undangan Bab 17 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: