Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 12
Baca Novel Elena Bab 12 Di Sini Sekarang
“Siapa lelaki itu?” Elena
terdiam. Mukanya pucat pasi. “Sebegitu cintanyakah kau padanya sampai-sampai
tak mau mengatakan siapa dia demi melindunginya?” “Bukan, bukan begitu.
Maksudku ...”
“Siapa?” “Masa lalu, Mas.
Menyebut namanya cuma akan menggores luka lamaku.”
“Jadi cuma kau saja yang
berhak terluka? Luka masa lalumu itu meninggalkan jejak sampai ke masa depan
yang aku harus hidup dengannya setiap hari. Dan itu bisa membuatku gila!”
Elena meraih jemari
tangan kanan Ibnu, terlihat luka-luka yang belum mengering. Diciuminya dengan
berlinangan air mata. Hatinya gentar, Ibnu bisa dibilang tak pernah marah
dankiniia harus menghadapi kemurkaannya.
“Ampuni aku, Mas. Aku
salah. Aku khilaf. Aku menyesal. Aku sudah benar benar bertobat hanya saja dulu
aku malu mengakuinya. Aku takut ... aku takut kau meninggalkanku.”
“Lalu kau pikir sekarang
aku tak akan meninggalkanmu?” Elena tersentak.
Dijatuhkan dirinya bersimpuh
memeluk kedua kaki Ibnu. Menangis tersedu-sedu. Ibnu bergeming. Tangannya
terkepal, gemeletuk giginya beradu. Setengah mati menahan amarahnya. Ia
beristighfar lalu duduk di sisi tempat tidur Maryam, Elena masih menggelayuti
kakinya.
“Kapan?” Ibnu kembali
bertanya singkat.
Elena tak kuasa menjawab,
napasnya tersengal tersedu-sedan.
“Apa malam itu waktu kau
tak pulang?” Elena mengangguk perlahan, makin erat memeluk kaki Ibnu.
Seandainya sujud di
kakinya bisa meredakan murkanya, pasti akan ia lakukan. Ia sungguh-sungguh tak
ingin kehilangan pintu surga terdekat yang bisa diraihnya. Untuk beberapa menit
lamanya Ibnu terdiam, mukanya masih merah padam. Sampai akhirnya terdengar
suara pintu diketuk. Elena buru-buru menyusut airmatanya.
“Cuci mukamu,” titah Ibnu
seraya bangkit meninggalkan Elena yang masih terduduk di lantai.
“Assalamualaikum ...........”
“Waalaikumsalam. Papa,
Mama, silakan masuk. Naik kereta jam berapa dari Bandung? Kenapa tidak
berkabar? Biar kami jemput di stasiun.”
“Ah tidak usah, kalian
pasti repot. Lagipula banyak taksi online sekarang, hahaha.”
“Mana Elena? Mana
cucuku?” tak sabar mama mertua Ibnu hendak beranjak masuk ke dalam kamar.
Elena keluar dengan mata
sembab, basuhan air dingin di wajahnya tak bisa menutupi kesedihannya.
Dihampiri orangtuanya, dicium tangan keduanya dengan takzim.
“Kau menangis, Elena? Ada
apa? Apa kalian baik-baik saja? Cucuku sehat kan?” cecar Mama.
“Aku cuma terharu dan
agak letih, Ma.” Elena masuk kamar kemudian keluarlagi menggendong bayi
mungilnya, mahluk kecil itu menggeliat.
Mama dan Papa
memperhatikannya dengan gemas. Elena berharap si kecil sementara terus
terlelap. Ia tidak bisa membayangkan menerima lebih dari satu kemarahan dalam
satu hari Elena pasrah saat Mama mengambil alih dari gendongannya.
Mama menciuminya
bertubi-tubi hingga bayi dalam gendongan itu terbangun dan membuka matanya.
Seketika kedua orangtua Elena terbelalak melihat bola mata bayi itu berwarna
coklat kebiruan. Elena buru-buru mengambil bayinya.
“Anak siapa itu Elena!”
tanya Mama dengan suara keras. Elena ciut.
“Jadi kau berselingkuh,
masih dengan lelaki bule itu hah! Dasar anak tak tahu diri!” Papa hampir
melayangkan telapak tangannya ke arah Elena.
Ibnu maju, melindungi
Elena di belakangnya punggungnya.
“Sabar, Pah. Kalau ada
yang boleh memukul Elena saat ini, maka sayalah yang paling berhak
melakukannya.” Ibnu berkata tegas.
“Kamu masih membelanya
setelah apa yang dia lakukan padamu? Tak terpikirkah olehmu bagaimana kelak
orang-orang menjadikan kalian bahan perbincangan. Ini aib!”
“Saya tidak membelanya.
Tapi Elena istri saya dan saya tidak akan membiarkan kekerasan fisik untuk
memberinya pelajaran. Biarkan saja orang-orang dengan prasangkanya. Lebih baik
Mama dan Papa beristirahat saja dulu di kamar Maryam.”
“Tidak. Kami mau langsung
pulang saja. Ayo, Ma.” Papa membalikkan badan keluar rumah diikuti Mama yang
mulai terisak. “Biar saya antar, Pah.”
“Tidak usah. Kau urus
saja istrimu itu.”
“Maafkan Elena, Pa, Ma.”
Elena mengejar keduanya sambil menyodorkan tangan namun ditolak.
Hati Elena semakin hancur.
Ia menangis tersedu. Kedua orangtua Elena berlalu dengan menahan kemarahan.
“Kau menyakiti hati
banyak orang, Elena.” ujar Ibnu dengan pandangan mata tajam menghujam ke
jantung Elena.
“Maafkan aku ...” hanya
itu yang bisa terucap dari bibir Elena yang bergetar menahan tangis.
“Aku butuh waktu untuk
berpikir dan menenangkan diri. Begitu juga kau. Aku akan mengantarkanmu besok
ke rumah Abah dan Ummi. Tinggalah di sana untuk beberapa waktu, bersama
Maryam.”
Sebenarnya Elena tak
ingin jauh-jauh dari Ibnu tapi tak ada yang bisa dilakukan selain mematuhi
suaminya saat ini. Ia hanya bisa mengangguk. Ibnu meninggalkan Elena yang
terpaku di tempatnya, masuk ke kamar Maryam dan menutup pintu.
Abah dan Ummi Izza
menyambut kedatangan mereka bertiga. Maryam melompat-lompat kegirangan melihat
Ibnu, Elena dan adik bayinya datang.
“Abah, saya ijin
menitipkan Elena dan anak-anak di sini boleh?”
“Kau mau ke mana, Nak?”
tanya Ummi Izza lembut.
“Tidak ke mana-mana,
Ummi. Hanya beberapa hari ke depan saya sibuk dan bisa jadi pulang malam terus.
Kasihan Elena.” terang Ibnu, ia tidak berbohong.
Ia memang sibuk dan
kesibukan menolongnya untuk memberikan jarak antara ia dan Elena untuk
sementara waktu.
“Baiklah. Tentu boleh.
Oya siapa nama anak ini? Rencananya kapan akikah? Biar kami bantu
pelaksanaanya.” kata Abah.
“Dalam pekan ini juga
boleh. Nanti saya titipkan ke Elena sejumlah uang untuk persiapannya, tolong
dibantu ya Abah dan Ummi.” “Alhamdulillaah. Jadi siapa namanya?”
“Biar Elena yang memberi
nama,” sahut Ibnu melirik ke arah Elena.
“Namanya Al ... Al
Fatih,” jawab Elena yang sejak pertama datang hanya terdiam menunduk.
“Masyaa Allah, nama yang
bagus sekali.” ujar Abah Abdullah.
“Permisi Abah, Ummi,
kepalaku sedikit sakit. Aku ijin masuk kamar untuk rebahan,” kata Elena perlahan.
“Ya ya ya, istirahatlah.
Abah mau mengajak Ibnu ke masjid untuk sholat berjamaah. Sekalian mengobrol.”
“Aku ikut Ibu,” sela
Maryam. Ummi Izza bangkit mengantar Elena, Al dan Maryam ke kamar yang dulu
ditempati Safitri. Ibnu mengekor sambil kedua tangan kekarnya membawa dua buah
koper berisi pakaian dalam sekali angkut. Menaruhnya di kamar lalu bergegas
keluar lagi tanpa sepatah katapun.
Elena membaringkan
bayinya di tempat tidur, membiarkan Maryam bermain di sebelah Al.
“Ada apa, Elena?” tanya
Ummi Izza lembut.
“Aku harusnya dihukum
rajam sampai mati, Ummi!” Elena menjatuhkan kepalanya di pangkuan Ummi,
terisak.
Ummi menghela napas
panjang lalu diusap-usapnya kepala Elena.
“Apa dengan lelaki itu?
Orang asing yang Safitri pernah ceritakan pada Ummi?” Elena mengangguk.
“Allah melarang manusia untuk mendekati zina,
Elena. Dekat-dekat saja tidak boleh. Karena mendekati saja sudah banyak potensi
untuk terjerumus di dalamnya. Dan kalau sudah masuk perangkap syetan maka
kerusakan demi kerusakan akan terjadi. Zina itu tipu daya syetan menyesatkan
manusia dari pernikahan yang halal.”
“Aku menyesal, Ummi. Aku
sudah bertobat pada Allah. Aku sudah memohon ampun pada Ibnu. Aku tak tahu
harus bagaimana lagi.”
“Tidak ada jalan hijrah
yang mudah, harga surga tidaklah murah. Allah sedang menguji kejujuran tobatmu
maka bersabarlah. Allah yang memberi ujian, Allah yang memegang kunci jawaban.
Ujiannya berbeda-beda sesuai tingkatan. Allah tidakmemintakita untukmenemukan
jalan keluar dari setiap masalah, Allah cuma suruh kita sholat dan tetap sabar
dalam ketaatan nanti Allah yang akan menunjukkan kita pada jalan keluar yang
tidak disangka-sangka. Bersabarlah, berdoalah minta pertolongan Allah.” nasehat
Ummi Izza panjang. Elena mengangguk pasrah.
Dihapusnya airmatanya. Ia
harus tetap tegar demi Al. Ibnu berjalan perlahan mengiringi langkah Abah ke
arah masjid. Adzan Dzhuhur masih setengah jam lagi.
“Ada masalah apa, Nak
Ibnu?” tanya Abah.
“Al bukan anakku, Abah
...” Ibnu menjawab pelan sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Abah menghela napas
berat, “Lalu apa yang akan kau lakukan?”
“Ini terlalu berat untuk
kutanggung. Aku ...” Abah menghentikan langkahnya.
Menatap Ibnu mencari
jawaban yang jujur. “Apakah kau akan menceraikan Elena?”
Kesimpulan Novel Elena Bab 12
Bagaiman Bab 12 nya, saya yakin novel Elena ini akan
membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan?
Jangan khawatir kami punya jawabannya di bab berikutnya. Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab
berikutnya.
0 comments: