Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 11
Baca Novel Elena Bab 11 Di Sini Sekarang
Ibnu memperhatikan sosok
mungil itu sambil tersenyum, kulitnya putih bersih, pipinya bulat, badannya
montok, hidungnya mancung. Senyum Ibnu berangsur surut ketika ia melihat bola
matanya ... coklat kebiruan.
Mencoba tetap bersikap
biasa, hati hati Ibnu menyerahkan kembali bayi itu ke tangan perawat dengan
tangan bergetar. Lalu ia keluar ruangan menuju mushola untuk sholat shubuh,
sungguh ia butuh audiensi khusus dengan Rabbnya.
Beberapa pasang mata
perawat memperhatikannya sambil berbisik-bisik namun ia tidak mempedulikannya.
memacu Ibnu mobilnya dengan kecepatan tinggi ke sebuah tanah lapang, berhenti
di tengahnya dan memencet klakson dengan keras berkali-kali. Hatinya dipenuhi
amarah, sekarang ia paham betapa batas cinta dan benci itu lebih tipis dari
kulit ari.
‘Baiklah, aku tidak boleh
gegabah’, dalam hati ia mencoba menenangkan diri.
Diatur napasnya yang
tersengal. Bisa jadi matanya berwarna coklat kebiruan karena nenek Elena memang
keturunan Eropa. Tapi sependek pengetahuannya, hanya satu di antara enam orang
yang lahir dengan warna mata biru di dunia.
Penyebabnya adalah sangat
sedikitnya jumlah melanin di stroma mata. Secara genetik ini bersifat resesif
sehingga membutuhkan multigen untuk dapat melahirkan bayi bermata biru. Artinya
gen resesif hanya akan muncul apabila berpasangan dengan gen resesif lain.
Sementara tak ada
seorangpun bermata biru di keturunan keluarga Ibnu. Entahlah! Ia merasakan
sakit kepala. Sambil menghentak-hentakkan dahinya ke atas setir berkali-kali,
bibirnya komat-kamit terus beristighfar. Kedua matanya terasa panas, begitu juga
hatinya.
‘Ya Allah, apa yang harus
aku lakukan?’ lirihnya dalam hati. Ibnu kembali ke rumah sakit.
Ia mengetuk ruangan
dokter Hana yang membantu persalinan Elena. Seorang muslimah, setengah baya.
“Assalamualaikum dokter, boleh saya masuk?”
“Waalaikumsalam. Saya
belum mulai jam praktek, Pak.” “Maaf dokter, sebentar saja. Saya mohon.” Wanita
itu menatap sekilas pada wajah lelah dan kusut Ibnu, lalu menghela napas
sedikit iba.
“Baiklah, lima menit.”
Elenamenatap bayimungildipelukannya yang sedang berusaha menyusu dengan gigih.
Airmatanya menetes, ketakutannya menjadi kenyataan.
Dengan sekali pandang, ia
sudah tahu si kecil ini mirip siapa. Terlalu kentara untuk tidak dianggap
berbeda. Pun begitu selayaknya seorang ibu, ia tetap mencintainya. Ia akan
mempertahankan apapun resikonya. Seorang perawat masuk membawa sarapan dan
beberapa vitamin.
"Kakak, lihat
suamiku, bukan?" Elena bertanya. “Maaf, Bu. Saya belum melihat Anda sejak
pagi ini.
"Dia menjawab dan
mengucapkan selamat tinggal. Elena gelisah, entah dari mana suaminya sekarang.
"Apakah dia baik-baik saja? Pertanyaan bodoh! ', Dia mengutuk dirinya
sendiri.
Tentu saja tidak. oke.
Hati siapa yang tidak patah hati? Setelah kesabarannya selama ini, ia bahkan
dikaruniai seorang anak yang bukan dari benihnya.
"Assalamualaikum..."
terdengar suara dari pintu diiringi ketukan pelan. Allah, Abah… Ummi Izza…
Maryam…” Buru- Buru-buru ia menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan bergo
panjangnya.
menyambut tamu yang
datang dengan mata berkaca-kaca. Mereka adalah orangtua Safitri yang sudah
sejak kecil dikenalnya. Orang-orang baik dengan hati seluas samudra, tak heran
Safitri tumbuh dengan akhlak yang mulia dalam didikan keduanya. Untuk beberapa
saat Ummi Izza memeluk Elena hangat sambil mengusap kepala sampai ke punggungnya
dan Elena tak kuasa untuk tidak terisak, bebannya terlalu berat.
“Nenek, permisi. Aku mau
lihat adik baruku.” Maryam tak sabar menarik-narik abaya Ummi Izza sehingga
pelukannya terlepas dari Elena.
“Haha Maryam anak Ibu
yang cantik dan shalihah, sini sini nak.” Elena mengulurkan satu tangannya. Maryam
mendekat dengan antusias. Lalu dengan lembut ia mencium pipi adik bayi itu,
“Muaaaaaah…” katanya. "Adik bayi yang lucu, mata biru.
Baunya seperti jus jambu
biji, ”Maryam bernyanyi dan semua orang tertawa ... canggung.
"Di mana Ibnu?"
tanya Abah.
"Mungkin keluar
untuk sarapan. Dia belum makan dari kemarin,” jawab Elena ragu-ragu. Mata
tertuju pada Ummi Izza, wanita tua itu tersenyum sambil mengangguk dengan
bijak.
Dia tahu persis siapa
Elena dan apa posisinya saat ini.
“Abah coba cari tahu,”
kata Abah. Elena mengangguk.
"Kapan kamu bisa
pulang?" Ummi bertanya Izza.Iamengambil alih bayi darigendongan Elena,
kemudian satu tangannya menyodorkan nampan sarapan. Secara tidak langsung
menyuruhnya makan.
“Besok, Umm. Alhamdulillaah,”
jawab Elena.
sudah datang “Mama Papa
menjengukmu?”
“Belum Umm, mungkin baru
bisa datang besok atau lusa katanya.” Elena menjawab sambil mulai menyantap
sarapannya.
Mereka berbincang-bincang
ringan, sesekali tertawa menimpali tutur dan tingkah Maryam. Nampak sekali Ummi
Izza berusaha mengalihkan perhatian Elena dari kegelisahan dan kesedihannya.
Selang beberapa lama, Ibnu dan Abah kembali ke kamar membawa buah dan susu
segar untuk Elena.
“Sudah sarapan, Mas?”
tanya Elena. “Sudah,” jawab Ibnu singkat. Elena merasakan bahwa suaminya enggan
memandangnya.
“Kami pamit pulang dulu
ya. Untuk sementara waktu biarlah Maryam tinggal bersama kami dulu sampai Elena
pulih benar,” kata Ummi Izza. “Bagaimana Maryam?” tanya Ibnu.
“Aku suka tinggal bersama
Nenek. Tapi aku juga ingin membantu Ibu mengurus adik bayi,” sahut Maryam
manja.
“Kamiakanmenjemputmusecepatnya,”
Ibnu tersenyum sambil mengusap kepala Maryam.
“Baiklah,” Maryam kembali
mencium pipi adik bayinya yang tertidur pulas di gendongan Ummi Izza.
Ummi Izza meletakkan
hati-hati tubuh mungil di box bayi. Lalu berpamitan, mencium kedua pipi Elena
dan berpelukan.
“Sebaik-baik penebusan
dosa itu di dunia, maka bertahanlah nak dengan kesabaran yang banyak ...” Ummi
Izza berbisik perlahan.
Elena mengangguk angguk
sambil kembali meneteskan airmata. Ibnu menutup pintu perlahan setelah mereka
bertiga pergi. Ia masih acuh tak acuh dengan Elena.
“Mas ...” “Jangan
sekarang, Elena. Kita berdua butuh istirahat,” Ibnu menahan Elena berbicara
dengan mengangkat tangannya sedikit ke udara. Ia tetap tidak memandang Elena.
Ibnu mengambil bantallalu
merebahkan dirinya di sofa membelakangi Elena, pura pura tidur. Elena mendesah
pendek. Hatinya sakit tapi ia tahu hati Ibnu jauh lebih terluka parah. Ia hanya
mampu memperhatikan suaminya tanpa berkata apa-apa, ia kehilangan sosok lembut
dan hangat. Air matanya menetes lagi. Siang keesokan harinya, setelah
membereskan semua administrasi dan bersiap pulang. Ibnu kembali menemui dokter
Hana sesuai perjanjian yang dibuatnya kemarin, seorang diri.
“Silakan duduk, Pak.”
“Terima kasih, Dokter. Bagaimana hasilnya?” tanya Ibnu tanpa berbasa-basi.
Dokter Hana menyodorkan sebuah amplop.
Ibnu membukanya, membaca
sekilas lalu memasukkan kembali ke dalam amplop.
“Saya tidak paham,
Dokter. Tolong katakan saja dengan bahasa yang mudah, apakah ia anak saya atau
bukan?” Ibnu bertanya lagi dengan sedikit tidak sabar.
Dokter Hana menghela
napas berat, dari awal ia sudah mencium ketidakberesan.
“Dari hasil tes darah
yang tertera di kertas itu, dapat kami simpulan bahwa bayi itu bukan dari benih
Bapak. Manusia Golongan darahnya A, B, AB dan O dengan rhesus (+) atau (-).
Orang Asia seoerti kitabiasanya rhesus (+), hanya 2% yang (-) yaitu keturunan
orang Asia yang menikah dengan orang Asing namun untuk lebih yakinnya, Bapak
bisa melakukan tes DNA.”
“Tidak perlu,” Ibnu
menjawab singkat, mukanya merah menahan marah.
“Selain tes DNA yang tadi
saya usulkan dan tes darah yang sudah Bapak lakukan, sebenarnya seiring
berjalannya waktu akan terlihat dengan sendirinya melalui kemiripan wajah atau
anggota tubuh, kemiripan karakter dan ikatan batin yang sangat kuat meskipun
berpisah lama.”
“Saya sudah menduga,
Dokter. Saya hanya perlu penegasan untuk lebih yakinnya. Terima kasih, Dok.
Saya mohon tolong rahasiakan.”
“Jangan khawatir, Pak.
Salah satu tanggungjawabkamiadalah merahasiakan data pasien.”
“Terima kasih, Dokter.”
“Sama-sama.” Ibnu keluar
dari ruangan dokter, rahangnya mengeras sementara tangannya terkepal.
Ia berbelok ke arah kamar
kecil dan tak kuasa menahan gejolak dalam hatinya. Dihantamnya dinding lorong
beberapa kali dengan tangan kanan untuk meluapkan emosi. Belum pernah ia
merasakan semarah ini dalam hidupnya.
Bercak darah membekas di
dinding, buku buku jemari bagian luar Ibnu terluka. Tapi sakitnya tidak
sebanding dengan luka di dalam hatinya. Ah, rupanya inilah yang Elena
sembunyikan dalam diamnya. Ibnu kembali ke kamar, menjemput Elena dan bayinya.
Mengendarai mobil pulang
ke rumah tanpa berkata apa-apa. Elena merasa tersiksa. Sampai di rumah, Ibnu
meninggalkan Elena terperangah di kamarnya yang ternyata sudah dihias
sedemikian rupa dengan balon-balon berwarna biru.
Sementara ia seorang diri
masuk ke dalam kamar Maryam. Elena tak tahan lagi. Diletakkannya bayi mungil
yang terlelap itu ke dalam box bayi yang sudah disiapkan Ibnu beberapa waktu
sebelum kelahirannya. Ia menghampiri Ibnu di kamar Maryam.
“Mas ...” Ibnu menoleh
sebentar lalu memalingkan mukanya tanpa sepatah katapun.
“Mas ... marahlah,
makilah, pukul aku. Tapi aku mohon jangan diamkan aku. Bicaralah. Aku tak tahan
tidak kau acuhkan ...”
“siapa lelaki itu?” tegas
ibnu.
Kesimpulan Novel Elena Bab 11
Bagaiman Bab 11 nya, saya yakin novel Elena ini akan
membawamu ke dalam imajinasi untuk berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan?
Jangan khawatir kami punya jawabannya di bab berikutnya. Silahkan klik navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab
berikutnya.
0 comments: