Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.
Dalam novel ini
Stepheni Meyer berhasil mengobrak abrik emosi pembaca dengan latar cerita
bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis,
permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.
Sebelum kamu
membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan
dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada
orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.
Ok, Silahkan baca
novel Twilight Bab 10 yang dipersembahkan oleh
Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan
solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.
Baca Novel Twilight –Buku yang Terbuka Bab 10
Aku menghirup sodaku pelan-pelan, perutku
keroncongan. Dua kali Mike menanyakan keadaanku, dengan kekhawatiran yang
sebenarnya tidak perlu. Kukatakan aku baik-baik saja, tapi dalam hati berpikir
apakah sebaiknya aku bersandiwara saja dan menyembunyikan diri di UKS selama
satu jam ke depan. Konyol.
Aku seharusnya tak perlu melarikan diri. Aku memutuskan
untuk melirik sekali lagi ke meja tempat keluarga Cullen berada. Kalau ia
menatapku, aku akan bolos kelas Biologi, seperti pengecut. Aku terus menunduk
dan mengintip sekilas dari balik bulu mataku. Tak satu pun dari mereka melihat
ke arahku.
Aku sedikit mengangkat kepala.
Mereka sedang tertawa. Edward,
Jasper, dan Emmett, rambut mereka berlumur salju yang meleleh. Alice dan
Rosalie menjauhkan diri ketika Emmett mengibaskan rambutnya yang basah ke arah
mereka. Mereka menikmati hari bersalju, seperti anak-anak lainnya—hanya saja
mereka lebih mirip adegan film ketimbang kami.
Tapi terlepas dari tawa dan keceriaan itu, ada
sesuatu yang berbeda, dan aku tak dapat mengatakan dengan pasti apa itu. Aku
mengamati Edward dengan sangat saksama. Warna kulitnya sudah tidak terlalu
pucat—barangkali memerah akibat perang-perangan salju—lingkaran di bawah
matanya juga sudah tidak terlalu kentara. Tapi ada sesuatu. Aku memikirkannya
lagi sambil memandangi mereka, berusaha menemukan perubahan itu.
“Kau sedang menatap apa, Bella?" Jessica
membuyarkan lamunanku, matanya mengikuti arah pandanganku. Pada saat bersamaan
mata Edward bersirobok dengan mataku.
Aku menunduk, kubiarkan rambutku terurai menutupi
wajah. Meski begitu aku yakin, saat sekilas mata kami beradu pandang itu, ia
tidak terlihat kasar atau tak bersahabat seperti terakhir kali aku bertemu
dengannya. Ia hanya kelihatan penasaran, seperti tidak puas. "Edward
Cullen menatapmu," Jessica berbisik di telingaku sambil cekikikan.
"Dia tidak kelihatan marah, ya kan?" Aku
tak bisa menahan diri.
"Tidak," kata Jessica, terdengar bingung
dengan pertanyaanku. "Apakah seharusnya dia marah?" "Sepertinya
dia tidak suka padaku," kataku jujur. Aku masih gelisah. Kutelungkupkan
kepalaku di tangan. "Keluarga Cullen tidak menyukai siapa pun... Well, mereka memang tidak memedulikan
siapa-siapa. Tapi dia masih memandangimu."
"Sudah, jangan dilihat lagi," desisku.
Jessica mendengus, tapi ia toh mengalihkan pandangan.
Kuangkat kepalaku sedikit untuk memastikan, dan bermaksud mengancamnya kalau ia
menolak. Lalu Mike menyela kami—ia merencanakan perang salju di lapangan parkir
seusai jam sekolah dan ingin kami bergabung. Dengan penuh semangat Jessica
menyetujuinya.
Dari caranya menatap Mike, aku ragu ia akan menolak apa pun
yang disarankan cowok itu. Aku diam saja. Aku harus bersembunyi di gimnasium
sampai lapangan parkir sepi. Selama sisa waktu makan siang dengan sangat
hati-hati kuarahkan pandanganku ke mejaku sendiri. Kuputuskan untuk
melaksanakan ideku tadi. Berhubung ia tidak kelihatan marah, aku akan ikut
pelajaran Biologi. Perutku sedikit mulas ketika membayangkan akan duduk
bersebelahan lagi dengannya.
Aku benar-benar tak ingin berjalan ke kelas bareng
Mike seperti biasa—sepertinya ia sasaran empuk para pelempar bola salju—tapi
ketika kami berjalan menuju kelas, semua orang kecuali aku serempak mengeluh.
Hujan turun, membuat salju di sepanjang jalan setapak mencair. Aku menaikkan
tudung jaket, menyembunyikan perasaan senangku. Artinya aku bebas, bisa
langsung pulang setelah kelas Olahraga.
Mike terus mencerocos, dan mengeluh sepanjang
perjalanan menuju gedung empat.
Begitu tiba di kelas, aku lega karena mejaku masih
kosong. Mr. Banner sedang berjalan mengelilingi kelas, membagikan mikroskop dan
sekotak slide untuk
masingmasing
meja. Selama beberapa menit pelajaran belum juga
dimulai, dan ruangan langsung bergema dengan anak-anak yang mengobrol. Aku
terus menjauhkan pandangan dari pintu, iseng-iseng menggambari sampul buku
catatanku. Aku mendengar sangat jelas ketika kursi di sebelahku bergeser, tapi
mataku tetap terarah pada gambarku.
"Halo," kudengar suara merdu dan tenang. Aku
mendongak, terkejut karena Edward-lah yang sedang berbicara padaku. Ia duduk
sejauh mungkin hingga ke ujung meja, tapi kursinya diarahkan padaku. Air
menetes dari rambutnya, berantakan—meski begitu ia terlihat seperti baru saja
selesai syuting iklan gel rambut. Wajahnya yang memesona tampak bersahabat,
senyum tipis mengembang di bibirnya yang sempurna. Tapi matanya tampak
hati-hati.
"Namaku Edward
Cullen," lanjutnya.
"Aku tidak sempat memperkenalkan diri minggu lalu.
Kau pasti Bella Swan."
Saking bingungnya, kepalaku sampai pusing. Apakah aku selama ini berkhayal?
Sekarang ia sangat sopan. Aku harus bicara; ia menunggu. Tapi aku tak bisa
mengatakan apa pun yang wajar.
“B-bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku
terbata-bata.
Ia tertawa lembut, tawa yang menyenangkan. "Oh,
kurasa semua orang tahu namamu. Seluruh kota telah menanti-nantikan
kedatanganmu.”
Aku nyengir. Sudah kuduga jawabannya akan seperti
ini. "Tidak" bantahku bodoh. "Maksudku, kenapa kau memanggilku
Bella?"
Ia tampak bingung. "Kau mau dipanggil
Isabella?"
"Tidak, aku lebih suka Bella," kataku. "Tapi
kupikir Charlie—maksudku ayahku—pasti memanggilku Isabella di belakangku—pasti
itulah yang diketahui orang-orang di sini," aku mencoba menjelaskan,
benar-benar merasa seperti orang bodoh.
"Oh." Ia tidak meneruskan. Aku memalingkan
wajah malu-malu.
Untungnya Mr. Banner memulai pelajaran saat itu juga. Aku mencoba berkonsentrasi mendengarkan saat ia menjelaskan tentang percobaan yang akan kami lakukan hari ini. Slide di kotak tak dapat digunakan.
Bersama
partner masing-masing, kami harus memisahkan slide akar bawang merah menjadi
tahapan mitosis yang mereka representasikan dan memberi label sesuai identitas
mereka. Kami tidak diperbolehkan membaca buku. Dalam dua puluh menit ia akan
berkeliling untuk melihat siapa yang melakukannya dengan benar.
"Mulai," perintahnya.
"Kau duluan, partner?" tanya Edward. Aku
mengangkat kepala dan kulihat ia tersenyum lebar begitu menawannya
sampai-sampai aku hanya memandanginya seperti orang idiot.
"Atau aku bisa memulainya kalau kau mau."
Senyum itu memudar; jelas ia mengira aku tidak kompeten melakukannya.
"Tidak," kataku, wajahku merah padam. "Aku
akan memulainya."
Penutup Novel Twilight – Buku
yang Terbuka Bab 10
Gimana Novel twilight – Buku yang Terbuka Bab 10 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.
0 comments: