Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar
hiburan atau hobi atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog
ini selalu mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan
pekerjaan.
Novel Elena ini ditulis
dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak salah
jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh pembaca.
Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 10
Baca Novel Elena Bab 10 Di Sini Sekarang
“Safitri dulu pun seperti
ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ...”
Ibnu berujar hati-hati.
Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir
sampai ke sana. Mungkinkah? Dua garis merah, positif.
Elena menyandarkan
tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene
menghantuinya.
Meskipun ia juga telah
melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya
ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa
membayangkannya. Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang
terus terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan
beristirahat di rumah.
Elena langsung
menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene
nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.
Trimester pertama yang
sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilangnya nafsu
makan tapi juga karena beban pikiran. Sikap Ibnu yang semakin perhatian
menambah perasaan bersalah Elena namun ia tak berani mengakui dosa-dosanya.
Kegelisahan Elena
mengantarkannya lebih dekat kepada Rabb-nya. Ia belajar memperbaiki sholatnya.
Mulai belajar membaca Al Quran dari mengeja alif ba ta.
Ibnu membimbingnya
menghapal surat surat pendek setiap malam sambil terus mengelus perut Elena.
Seringkali Ibnu menemukan Elena terjaga di sepertiga malam, mendirikan sholat
dan terisak di hamparan sajadahnya.
Ibnu melihat metamorfosa
Elena sebagai bentuk tobat yang jujur. Apalagi setelah rutin menghadiri majelis
ilmu, ahlak dan kepribadian Elena berubah menjadi lebih indah. Ia juga semakin
dekat dengan Maryam. Bukan hanya itu, Elena sekarang sudah nyaman mengenakan
gamis dan kerudung yang menutup dada dan bagian belakangnya.
Bahkan selalu berkaos
kaki keluar rumah, meski hanya ke warung tetangga. Safitri benar, Ibnu mulai
jatuh cinta pada sosok Elena. Hanya saja ada satu hal yang mengganggu pikiran
Ibnu, sejak menyadari kehamilannya Elena berubah menjadi lebih pendiam dan
sering terlihat murung. Setiap kali ditanya, ia selalu menjawab bahwa semua
baik-baik saja.
Tapi ia tahu, Elena
menyembunyikan sesuatu. Elena sedang duduk di teras depan rumahnya, menikmati
sore berdua dengan Maryam. Bercengkrama sambil menikmati coklat hangat dan roti
bakar buatan Elena.
“Maukah kau ceritakan
tentang ummi?” tanya Elena pada Maryam.
“Tentu saja,” jawabnya
sumringah.
“Ummi selalu menyempatkan
waktu berdua bersamaku, seperti kita sekarang ini. Sambil menyisir rambuku, ia
akan memberi nasehat panjaaaaaaaaaaaaang sekali. Tapi aku tak pernah bosan
mendengarnya.”
“Oh ya? Nasehat apa yang
paling sering ummi sampaikan?”
“Ya kata ummi, perempuan
itu cuma punya dua pilihan. Menjadi sebaik-baik perhiasan atau seburuk-buruk
fitnah,” ujar Maryam sambil memainkan ujung kerudung Elena.
“Memangnya kau mengerti maksud nasehat ummi
tadi?” tanya Elena penasaran.
“Awalnya tidak tapi
kemudian ummi menjelaskan bahwa Islam sudah mengangkat kemuliaan perempuan jadi
jangan malah merusaknya sendiri. Ummi mengatakan bahwa wanita itu istimewa dan
cantik karena Islam mewajibkannya untuk menutup auratnya agar terjaga, menjadi
perhiasan terbaik. Jika tidak menutup aurat hanya akan merugikan diri sendiri
dan menjadi ujian bagi orang lain,”
kata Maryam Panjang.
'Masyaa Allah... gadis sekecil ini sudah mengerti batasan aurat, padahal baru
mulai belajar taat', keluh Elena malu.
"Apakah kamu
mencintai Ummi?" Elena bertanya lagi.
"Sayaaaaaaang."
"Apakah kamu mencintaiku?" Maryam memeluk
"Sayaaaaang,"
Elena.
"Baiklah, apakah
kamu ingin mengajar padaku apa-apa saja yang Ummi, apakah Anda punya saran
untuk saya? ” Maryam mengangguk antusias. Elena mencium kepala Mary,
"Terima kasih." Di tengah malam,
Elena terbangun, merasa basah di bagian bawah perutnya sebelum akhirnya sakit
maag memuncak.
Yang mengejutkannya,
sepertinya cairan ketuban telah pecah sehingga membasahi tempat tidurnya.
“Mas…” Elena menyentuh
pipi Ibn dan membangunkannya, masih berusaha tenang.
Suami tipe Ibn waspada, sekali usapan lembut
telah membuatnya terjaga.
“Ya ya, apa sudah
waktunya? Ya Allah, air ketubannya sudah pecah, Elena!”
seru Ibnu mulai panik.
Elena mengangguk lemah, dahinya berpeluh menahan rasa mulas yang datang dan
pergi yang semakin sering. Dengan sigap diraihnya tas berisikan perlengkapan
melahirkan yang sudah siap sedia di dekat tempat tidur. Lalu ia membopong Elena
hati-hati masuk ke dalam mobil. Ibnu kembali lagi ke rumah, kali ini ia keluar
menggendong Maryam yang masih tertidur dan meletakkannya di bangku tengah.
“Sabar ya, tahan ... istighfar yang banyak,”
Ibnu mengucapkan itu berkali kali.
Satu tangannya menyetir
mobil sedang satu tangan lainnya memegang gawai berusaha menghubungi seseorang.
“Assalamualaikum, Abah?
Ini aku, Ibnu. Elena sudah waktunya melahirkan, kami sedang dalam perjalanan ke
rumah sakit.
Bisakah Abah dan Ummi
menjemput Maryam dan menemaninya sementara waktu? Baik, baik.
Terima kasih banyak. Assalamualaikum,”
Ibnu menutup pembicaraannya dan memasukkan gawainya ke saku kemejanya.
“Siapa yang kau telepon?”
tanya Elena lemah.
“Abah,” jawab Ibnu
singkat.
Melajukan mobilnya lebih
cepat. Elena mengerang, sebelah tangan Ibnu sigap meraih tangan Elena dan
menggenggamnya seolah ingin mentransfer sebagian kekuatan untuknya. Elena
meremas jemari Ibnu setiap kontraksi itu datang.
Tiba di rumah sakit,
pegawai medis dengan sigap menyambut Elena. Hanya selang beberapa menit
kemudian, abah dan ummi datang tergopoh-gopoh. Ibnu langsung mengoper Maryam ke
dalam gendongan Abah.
Matanya memohon restu
kepada kedua orang itu, abah menepuk-nepuk pundak Ibnu. Setengah berlari ia
menyusul Elena ke kamar bersalin, seorang perawat menahannya di pintu tapi
kemudian memperbolehkannya masuk. Sepanjang proses persalinan, Ibnu menggenggam
tangan Elena menguatkannya. Diingatkannya Elena untuk terus menyebut asma
Allah.
Sesekali diusapnya
keringat bercampur airmata di wajah Elena dengan penuh kasih. Tepat adzan
shubuh, setelah berjuang berjam-jam akhirnya Elena melahirkan seorang bayi
laki-laki. Ibnu mengucap syukur dan tak kuasa membendung buliran bening dari
matanya.
Dihujaninya Elena dengan
kecupan di kepalanya dan ucapan terima kasih. Elena ikut menangis terharu.
Seorang suster menyodorkan bayi merah yang terbungkus selimut kepada Ibnu. Bayi
itu menangis keras dengan mata terpejam. Dengan hati-hati Ibnu menerimanya,
menciumnya kemudian memperdengarkan adzan di telinganya.
Ia menimangnya perlahan
dan membisikkan doa-doa. Tangis bayi di pelukannya sedikit demi sedikit mereda,
seperti menikmati suara merdu Ibnu. Kemudian matanya terbuka dan sosok Ibnu
yang pertama kali dilihatnya. Ibnu memperhatikan sosok mungil itu sambil
tersenyum, kulitnya putih bersih, pipinya bulat, badannya montok, hidungnya
mancung. Senyum Ibnu berangsur surut ketika ia melihat bola matanya ... coklat
kebiruan.
Kesimpulan Novel Elena Bab 10
Bagaiman Bab 10 nya, saya
yakin novel Elena ini akan membawamu ke dalam imajinasi untuk
berusaha menebak lanjutan kisahnya bukan? Jangan khawatir kami punya jawabannya
di bab berikutnya. Silahkan klik
navigasi Babnya di bawah ini untuk pindah ke Bab berikutnya.
0 comments: