Monday, January 17, 2022

Bab 1 Novel Twilight Pandangan Pertama Baca Di SIni

Novel Twilight, ditulis oleh Stepheni Meyer. Novel ini ini terdiri dari 5 seri yaitu Twilight, Newmoon, Midnight sun, Eclipse dan Breaking Dawn.

Dalam novel ini Stepheni Meyer berhasil mengobrka abrik emosi pembaca dengan latar cerita bangsa manusia, serigala dan vampir. Anda akan menemukan adegan romantis, permusuhan, perang dan konspirasi dalam novel ini.

Sebelum kamu membaca terlalu jauh, Admin kembali mengingatkan bahwa membaca novel jangan dijadikan sebagai kegiatan utama. Ibadah, kerja, belajar dan berbakti kepada orang tua tetaplah hal yang harus diutamakan.

Ok, Silahkan baca novel Twilight Bab 1 yang dipersembahkan oleh Admin white novel. Semoga bisa memberi hiburan, insipirasi dan solusi bagi setiap masalah yang kamu hadapi.

Baca Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 1

IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka. Suhu kota Phoenix 23° C langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaus favoritku—tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka.

Baca Novel Twilight


Di Semenanjung Olympic di barat laut Washington, sebuah kota kecil bernama Forks berdiri di bawah langit yang nyaris selalu tertutup awan. Di kota terpencil ini hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Amerika Serikat. Dari kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, ibuku melarikan diri bersamaku ketika aku baru berusia beberapa bulan. Di kota inilah aku telah dipaksa menghabiskan satu bulan setiap musim panas sampai aku berusia empat belas tahun. Ketika itulah aku akhirnya mengambil keputusan tegas; dan sebagai gantinya selama tiga musim panas terakhir ini, ayahku, Charlie, berlibur bersamaku di California selama dua minggu. Ke kota Forks-lah sekarang aku mengasingkan diri – keputusan yang kuambil dengan ketakutan yang amat sangat. Aku benci Forks.

Aku mencintai Phoenix. Aku mencintai matahari dan panasnya yang menyengat. Aku mencintai kotanya yang dahsyat dan megah.

"Bella," ibuku berkata—untuk terakhir kali dari ribuan kali ia mengatakannya—sebelum aku naik pesawat. "Kau tidak perlu melakukan ini.”

Ibuku mirip aku, kecuali rambut pendek dan garis usia di sekeliling bibir dan matanya. Aku merasa sedikit panik saat menatap mata kekanak-kanakannya yang lebar. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku yang penuh kasih, labil, dan konyol ini sendirian? Tentu saja sekarang ia bersama Phil, jadi ada yang membayar tagihan-tagihannya, akan ada makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan bakar, dan ada orang yang bisa diteleponnya bila ia tersesat, tapi tetap saja...

"Aku ingin pergi," aku berbohong. Aku tak pernah pandai berbohong tapi aku telah mengatakan kebohongan ini begitu sering hingga sekarang nyaris terdengar meyakinkan.

"Sampaikan salamku buat Charlie."

"Akan kusampaikan."

"Sampai ketemu lagi," ibuku berkeras. "Kau bisa pulang kapan pun kau mau—aku akan segera datang begitu kau membutuhkanku."

Tapi di matanya bisa kulihat pengorbanan di balik janji itu.

"Jangan khawatirkan aku," pintaku. "Semua akan baikbaik saja. Aku sayang padamu, Mom."

Ibuku memelukku erat-erat beberapa menit, kemudian aku naik ke pesawat, dan ia pun pergi.

Makan waktu empat jam untuk terbang dari Phoenix ke Seattle, satu jam lagi menumpang pesawat kecil menuju

Port Angeles, lalu saru jam perjalanan darat menuju Forks. Perjalanan udara tidak mengusikku; tapi satu jam dalam mobil bersama Charlie-lah yang agak kukhawatirkan. Secara keseluruhan Charlie lumayan baik. Perasaan senangnya sepertinya tulus, ketika untuk pertama kali aku datang dan tinggal bersamanya entah selama berapa lama. Ia sudah mendaftarkan aku ke SMA dan akan membantuku mendapatkan kendaraan pribadi.

Tapi tentu saja saat-saat bersama Charlie terasa canggung. Kami sama-sama bukan tipe yang suka bicara, dan aku juga tak tahu harus bilang apa. Aku tahu ia agak bingung karena keputusanku—sebab seperti ibuku, aku juga tidak menyembunyikan ketidaksukaanku pada Forks. Ketika aku mendarat di Port Angeles, hujan turun. Aku tidak melihatnya sebagai pertanda—hanya sesuatu yang tak terelakkan. Lagi pula aku telah mengucapkan selamat tinggal pada matahari.

Charlie menungguku di mobil patrolinya. Yang ini pun sudah kuduga. Charlie adalah Kepala Polisi Swan bagi orang-orang baik di Forks. Tujuan utamaku di balik membeli mobil, meskipun tabunganku kurang, adalah karena aku menolak diantar berkeliling kota dengan mobil yang ada lampu merah-biru di atasnya. Tak ada yang membuat laju mobil berkurang selain polisi. Charlie memelukku canggung dengan satu lengan ketika aku menuruni pesawat.

"Senang bisa ketemu denganmu, Bells," katanya, tersenyum ketika spontan menangkap dan menyeimbangkan tubuhku. "Kau tak banyak berubah.

Bagaimana Renee?"

"Mom baik-baik saja. Aku juga senang ketemu kau, Dad." Aku tidak diizinkan memanggilnya Charlie bila bertemu muka.

Aku hanya membawa beberapa tas. Kebanyakan pakaian Arizona-ku tidak cocok untuk dipakai di Washington. Ibuku dan aku telah mengumpulkan apa saja yang kami miliki untuk melengkapi pakaian musim dinginku, tapi tetap saja ke-lewat sedikit. Barang bawaanku muat begitu saja di bagasi mobil patroli Dad.

"Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benarbenar murah," ujarnya ketika kami sudah berada di mobil. "Mobil jenis apa?" Aku curiga dengan caranya mengatakan "mobil bagus buatmu", seolah itu tidak sekadar "mobil bagus".

"Well, sebenarnya truk, sebuah Chevy."

"Di mana kau mendapatkannya?"

"Kauingat Billy Black di La Push?" La Push adalah reservasi Indian kecil di pantai.

"Tidak."

"Dulu dia suka pergi memancing bersama kita di musim panas," Charlie menambahkan.

Pantas saja aku tidak ingat. Aku mahir menyingkirkan hal-hal tidak penting dan menyakitkan dari ingatanku. "Sekarang dia menggunakan kursi roda," Charlie melanjutkan ketika aku diam saja, "jadi dia tak bisa mengemudi lagi dan menawarkan truknya padaku dengan harga murah."

"Keluaran tahun berapa?" Dari perubahan ekspresinya aku tahu ia berharap aku tidak pernah melontarkan pertanyaan ini.

“Well, Billy sudah merawat mesinnya dengan baik— umurnya baru beberapa tahun kok, sungguh." Kuharap Dad tidak menyepelekan aku dan berharap aku memercayai kata-katanya dengan mudah. "Kapan dia membelinya?" "Rasanya tahun 1984."

"Apa waktu dibeli masih baru?"

"Well, tidak. Kurasa mobil itu keluaran awal '60-an— atau setidaknya akhir '50-an," Dad mengakui malu-malu. "Ch—Dad, aku tidak tahu apa-apa tentang mobil. Aku tidak akan bisa memperbaikinya kalau ada yang rusak, dan aku tidak sanggup membayar montir..."

"Sungguh, Bella, benda itu hebat. Model seperti itu tidak ada lagi sekarang."

Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai—paling jelek sebagai nama panggilan.

"Seberapa murah yang Dad maksud?" Bagaimanapun

aku tidak bisa berkompromi soal yang satu ini. "Well, Sayang aku sebenarnya sudah membelikannya untukmu. Sebagai hadiah selamat datang." Charlie melirikku dengan ekspresi penuh harap.

Wow. Gratis.

Penutup Novel Twilight – Pandangan Pertama Bab 1

Gimana Novel twilight – Pandangan Pertama Bab 1 ? keren kan ceritanya. Tentunya kamu penasaran apa yang akan terjadi di bab berikutnya. Jangan khawatir kami telah menyiapkannya. Silahkan baca bab berikutnya dengan mengklik tombol nvaigasi bab di bawah ini.

Selanjutnya
Sebelumnya

0 comments: