Novel Elena ditulis oleh Ellya Ningsih, Banyak yang berharap penulis novel ini akan menjadi the next Tere Lie. Novel Elena juga memiliki versi cetak yang lengkap. Anda bisa memesannya di nomor Wa : 085703404372 atau 088218909378.
Oh iya membaca novel hanyalah sekedar hiburan atau hobi
atau bahkan pengisi waktu luang saja. Untuk itu admin blog ini selalu
mengingatkan tetaplah nomor satukan Ibadah, Perintah orang tua dan pekerjaan.
Novel Elena ini
ditulis dengan bahasa yang ringan namun bisa mengobrak abrik emosi pembaca. Tak
salah jika novel ini menjadi viral dan selalu ditunggu bab perbab nya oleh
pembaca. Ok Sekarang silahkan baca Novel Elena Bab 1
Baca Novel Elena Bab 1 Di Sini
Sekarang
“Mbak, maaf.
Dompet saya ketinggalan di rumah berikut isinya. Apa bisa saya meninggalkan
sesuatu untuk jaminan? Insyaa Allaah segera saya balik lagi menebusnya.”
ujarnya pelan pada kasir.
“Aduh, gimana ya
Bu. Saya takut salah. Sebentar saya panggil manajer toko saja ya.” jawab
perempuan muda bermake-up tebal yang menjadikannya malah terlihat lebih tua.
“I’ll pay! (Aku
yang bayar!)” sahut seseorang dari arah pintu masuk mini market.
Mereka berdua
serentak menoleh ke pintu masuk dan demi melihat sosok itu seketika Elena
merasakan tubuhnya lemas seolah tulangnya diloloskan satu-satu.
Eugene ... lelaki
tampan dengan sorot mata tajam, tinggi tegap dengan dada bidang. Ia pernah
mengisi hati dan hidup Elena belasan tahun yang lalu.
“How much
(Berapa)?” lelaki berkebangsaan asing yang tidak asing bagi Elena itu sudah
berdiri di sebelahnya. Harum tubuhnya yang khas dan masih dihapalnya membuat
Elena makin terpaku kaku di tempatnya tanpa kata-kata. “Dua belas ribu lima
ratus, mister.” jawab kasir sambil senyum-senyum menggoda.
“Here’s twenty.
(Ini dua puluh ribu.)” Eugene menyodorkan selembar dua puluh ribuan.
“Kembaliannya, mister.” kata kasir masih terus tersenyum gatal. “Take it.
(Ambil saja.)” sahut Eugene padakasir sambil memasukkan dompetnya ke dalam tas
selempangnya. Diliriknya Elena yang menatap lekat Al, tak berani menatapnya.
Eugene
menghampiri Al, ikut jongkok di sebelahnya. Jantung Elena berdegup lebih
kencang, tangannya gemetar. Ia seperti melihat dua lelaki yang sangat mirip
hanya beda ukuran.
“Hello top guy.
What’s your name? (Halo jagoan. Siapa namamu?)” Eugene menepuk pundak Al
hangat. Al menoleh ke arahku, matanya bertanya-tanya. “Om itu menanyakan
namamu, Nak.” terang Elena pada Al dengan suara pelan dan serak. “Al Fatih, Om
...” Al menjawab sumringah, dia selalu senang jika ada yang menyapanya ramah.
“What a great
name, your mom must be proud of you! (Nama yang bagus, ibumu pasti bangga
padamu!)” Eugene mengacak rambut Al, mereka berdua tertawa kecil seolah sudah
lama akrab. Elena berhasil mencairkan kebekuan kakinya, lalu beranjak
menyingkir dari depan kasir. Eugene ikut bergeming, ia berdiri sambil
menggandeng tangan kiri Al kemudian berjalan ke arah meja bulat yang
dikelilingi kursi-kursi plastik. “Sit, please. (Duduklah.)” Eugene menatap
Elena sambil menarik sebuah kursi. Elena menurutinya.
Eugene lalu
mendudukkan Al diantara mereka berdua. Memesan dua cangkir kopi, lalu terdiam
sesaat mengamati Al yang hampir menghabiskan es krimnya dengan mulut belepotan.
“What’s up, Elena? (Apa di atas, baca: Apa kabar, Elena?)” sapa Eugene membuka
percakapan. “Sky is up (Langit yang di atas).” jawab Elena datar.
Eugene tertawa
kecil mendengarnya. “What in earth are you doing here? (Apa yang kau lakukan di
sini?)” Elena akhirnya membuka lebih suara itu masih penuh cinta, kehangatan
dan harapan, ia hampir saja menangis tapi harga dirinya berhasil menguatkan.
“I’ve been
looking for you for almost seven years, Elena! (Aku mencarimu hampir tujuh
tahun, Elena!)” suaranya sedikit meninggi. “DoIlook like I care?!? (Memangnya
aku peduli?)” jawab Elena sekenanya. “Yes, you do! (Ya, pasti!)” Eugene seperti
meyakinkan dirinya sendiri. “Well, look again! (Lihat lagi, baca: Kalau begitu
kau salah)” Elena balik menatap Eugene dengan tatapan yang disetel tidak peduli
walaupun hatinya terasa gerimis.
“Please, Elena.
Talk to me. Why??? (Katakan padaku, Elena. Kenapa? Aku mohon)” Eugene
mengulurkan tangannya hampir menyentuh jari-jemari Elena yang saling
menggenggam gelisah tapi kemudian tersadar dan segera menariknya kembali.
Ia menghargai
pakaian yang dikenakan perempuan mungil di hadapannya. “Ibu, aku sudah
selesai!” teriak Al lantang memotong perkataan Eugene, sambil tertawa
mempertunjukkan tangan dan mulutnya yang belepotan es krim.
Elena tersenyum
tipis. Eugene tertawa kecil, dengan sigap dikeluarkannya sapu tangan dari
kantong celananya lalu membersihkan kedua tangan dan mulut Al.
“Listen to me top
guy. I know you wanna play outside soon but i need you to stay with us for
minutes so i can talk to your mom. Because mommy will be little bit comfortable
talking in a crowd like this. Do you like to draw? Here’s my book and my pen,
you can draw what vehicles you like. (Dengarkan aku jagoan. Aku tau kau tidak
sabar main di luar tapi aku membutuhkanmu di sini supaya aku bisa berbicara
dengan ibumu sebentar. Ibumu sedikit lebih nyaman bicara di keramaian sepertiini.
Kau suka menggambar? Ini buku dan pena milikku, kau bisa menggambar kendaraan
yang kau suka” Eugene bicara panjang lebar seolah Al bakal mengerti ucapannya.
Sementara Al terkekeh-kekeh,
anak kecil itu geli mendengar aksen dan bahasa Eugene yang biasanya hanya ia
tau lewat acara tivi ‘Hi Five’. “Al boleh gambar kereta diesel di sini?” Ia
menunjuk buku yg disodorkan Eugene sambil melihat Elena meminta persetujuan.
“Iya sayang, menggambarlah di situ.” sahut Elena lembut sambil tersenyum.
Seorang pelayan
wanita datang mengantarkan pesanan. Harum kopinya menenangkan, Elena menghirup
dalam dalam aromanya. Ia merasa kewarasannya setengah terselamatkan. “Elena,
why are you hiding from me? (Elena, kenapa kau menghindar dariku?)” “You know
why ... I’m married, i have kids. And you’re such a bad influence on me. (Kau
tau kenapa ... Aku sudah menikah dan mempunyai anak-anak. Lagipula kau membawa
pengaruh buruk buatku”
“You have married
too seven years ago but you still want to meet me. We’re even ... (Kau pun sudah
menikah tujuh tahun lalu tapi kau masih bersedia menemuiku. Bahkan kita ...”
“Stop it. It’s a big mistake!!! (Hentikan. Dulu itu kesalahan besar!!!)” “Calm
down, Elena ... i’m here not to argue. I miss you ... (Tenanglah, Elena Aku di
sini bukan untuk berdebat. Aku rindu padamu ...” Elena hampir terisak, mukanya memerah
matanya berair napasnya tersengal.
Ia ingin segera
berlalu dari momen ini. “I am not the same person. I have changed. And I am
fully happy for I am now. Don’t ruin my happiness. I want you to stay away from
my life ... please ... (Aku bukanlah orang yang sama. Aku sudah berubah. Dan
aku sangat bahagia dengan keadaanku sekarang. Jangan mengusik kebahagiaanku.
Menjauhlah dari kehidupanku ... Aku mohon ....)”
“I’ll wait ...
(Aku akan menunggu ...)” “Don’t wait. You have to move on. Get married, have a
bunch of kids like you want it. Be happy ... (Jangan menunggu. Kau harus
melanjutkan hidupmu. Menikahlah. Miliki banyak anak seperti yang kau mau.
Berbahagialah ...)”
“I can’t find
someone like you. (Aku tidak bisa menemukan penggantimu.)” “That’s a sweet
bullshit I ever heard in my age! (Itu omong kosong termanis yang pernah
kudengar di usiaku!)” Elena tertawa sinis.
Ia meneguk habis
kopinya yang hampir dingin. “Talking about age. How old is he? (Ngomong-ngomong
soal usia. Berapa umurnya?)” Eugene menoleh ke Al. “Hampir ketujuh. (Hampir tujuh
tahun)” jawab Elena singkat.
“Aku ingin
menunjukkan sesuatu padamu. (Saya ingin menunjukkan sesuatu kepada Anda) ” Eugene
mengeluarkan dompetnya. Di sodorkannya secarik kertas foto ukuran kecil. Elena
memperhatikan dua sosok lakilaki di foto itu. “That’s my dad. And the little
one was me. (Itu ayahku. Dan anak kecil itu adalah aku.)” Elena terkesiap, ia
hampir-hampir saja mengira anak kecil itu Al. “Is Al my son? (Apakah Al
anakku?)” pertanyaan itu seperti belati yang menghunus tepat di jantung Elena.
“Of course he’s not! (Tentu saja bukan!)” Elena setengah berteriak.
Ia bangkit dari
duduk dan menggandeng Al keluar dari tempat itu. “Elena! Elena! Elena please
wait! (Elena! Elena! Elena tunggu kumohon!)” Elena masih bisa melihat dengan
ekor matanya betapa lelaki itu bersegera mengeluarkan uang dari dompetnya,
menaruhnya di meja dan berusaha mengejarnya. Terlambat. Elena sudah masuk ke
dalam taksi dan berlalu pergi.
Baca Bab Berikutnya
Klik navigasi bab di bawah untuk baca bab berikutnya.
0 comments: